Sabtu, 16 September 2017

George Orwell, 1984, dan Bagaimana Bung Besar Mengawasimu


Aku sepertinya belum pernah bercerita kepadamu tentang keputusanku untuk pergi meninggalkan salah satu halaman media sosial tempatku meratap sejak mengenal internet itu kemarin. Rasanya aku tidak lagi menemukan ketenangan yang seharusnya bisa aku temukan di sana; sebuah bilik tempat aku bisa menyendiri dari hiruk-pikuk warga sosial media yang girang sekali meramaikan segala sesuatu, apapun itu. Berbagai macam isu-isu politik, agama, sara, digoreng sedemikian rupa menjadi sebuah menu hidangan yang tidak layak dimakan.
Salah satu isunya adalah pemerintahan sekarang merupakan jelmaan pemerintahan yang diktator. Bukan aku ingin membela, melainkan memang jujur saja aku tidak menemukan hal yang berkaitan atau berhubungan dengan diktator itu di pemerintahan sekarang. Mereka hanya kurang bersyukur aku rasa karena terlalu rakus memakan hidangan yang digoreng dari isu-isu yang tidak sehat di media sosial sekarang. Kurangnya pengetahuan bagaimana mengunyah, menelan, dan mencerna hidangan sejenis itu yang tidak banyak kulihat pada diri mereka.
Isu ini juga yang kemudian membangkitkan kenanganku tentang Winston Smith; dia datang mengetuk pintu kepalaku sambil tertatih-tatih minta tolong, kalau kau ingin tahu, dari sebuah novel berjudul 1984 karangan George Orwell. Mendengar namanya aku rasa kau akan segera mengingat tentang sebuah cerita yang pernah kita baca di bawah pohon di samping peternakan musim panas lalu, Animal Farm, fabel yang membuatmu tertarik; tidak seperti biasanya, terhadap politik.
Kalau di dalam cerita Animal Farm masih ditampilkan bagaimana perjuangan melawan pemimpin diktator dan totaliter itu akhirnya terjadi, di 1984 jangan harap bisa menemukannya. Orwell benar-benar mengembangkan teori kekuasaan sampai titik yang ekstrem. Suasana yang ditimbulkan oleh keekstreman sistem pemerintahan tersebut sungguh membuat Winston Smith, tokoh utamanya, akhirnya tidak lagi merasa menjadi manusia saking tidak berdayanya dia; sekujur tubuh dan seluruh pikirannya benar-benar ditekan dan dipaksa untuk patuh kepada Bung Besar dan Partai.
Dia memang mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak benar setelah lama bekerja sebagai anggota Partai. Sekarang bayangkan saja, Partai memiliki kekuasaan absolut hampir seperti Tuhan; mereka mampu mengendalikan masa depan, masa sekarang, dan masa silam melalui berbagai tindakan mengubah sejarah dengan mengganti sesegera mungkin informasi-informasi yang dirasa tidak tepat. Lantas bagaimana bila ada yang tetap mengingat atau menyimpan informasi yang tidak tepat, mungkin kau bertanya demikian. Jawabannya sederhana, mereka akan diuapkan; bahasa halus untuk membunuh mereka. Partai juga mampu mengendalikan segala macam bidang yang berkaitan dengan kehidupan warga negara, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik.
Winston tidak bisa menyimpannya terus menerus kegundahan hatinya tersebut, sebab segala tingkah laku semua warga negara diawasi oleh Partai; ada namanya teleskrin, semacam alat seperti televisi dan radio yang mampu menangkap suara dan gambar di sekitarmu, ada juga sepasukan Polisi Pikiran yang keberadaannya tidak dapat diketahui sampai mereka menghampirimu, menyergapmu atas tuduhan melakukan crime-think, kejahatan-pikiran, bahkan di dalam rumah yang nyaman tempat kau seharusnya menemukan rasa aman ada sepasukan Mata-Mata yang beranggotakan anak-anakmu sendiri, mereka mengawasi orang tua mereka dan akan melaporkan kepada Polisi Pikiran apabila orang tuanya ketahuan melakukan kejahatan-pikiran, bahkan seperti igauan atau salah ucap pun akan membuatmu dilaporkan oleh anakmu sendiri.
Setidaknya dia tidak benar-benar tertekan setelah menemukan sedikit cara untuk menumpahkan kegundahan hatinya tersebut; sebuah buku harian yang tidak sengaja dia temukan di sebuah toko loak di daerah pinggiran tempat kaum Proletariat atau kaum Prol bermukim. Dia mulai membuat tempat persembunyian di flatnya, tepatnya di sebuah sudut di mana dia tidak akan terlihat oleh teleskrin ataupun orang lain yang kebetulan mungkin akan masuk ke dalam flat, dan menulis rasa kesal dan bencinya kepada Bung Besar dan Partai. Setelah lama hanya berkutat pada buku harian, Winston akhirnya menemukan seseorang yang sepemikiran dengannya, seorang perempuan bernama Julia.
Mereka menyadari tidak ada bentuk perlawanan yang bisa dilakukan kepada Partai dalam bentuk perjuangan fisik. Perlawanan tersebut akhirnya dilakukan dalam bentuk pikiran dan perasaan. Mereka mulai menjalin cinta dan mengadakan pertemuan secara rahasia pada waktu-waktu tertentu, sekadar untuk bisa merasakan kembali menjadi manusia utuh; manusia yang diliputi oleh perasaan cinta yang tulus tanpa tekanan dan paksaan.
Rasanya mereka berdua akan mampu menjalani perlawanan tersebut terus-menerus, mungkin kau akan bertanya demikian. Memang mereka berharap sepertimu, tapi mereka akhirnya ketahuan juga. Orang-orang yang mereka temui dan mereka anggap sebagai orang yang sepemikiran ternyata tidak lain merupakan Polisi Pikiran yang sedang menyamar. Mereka kemudian digelandang ke sebuah kementrian, Kementrian Cinta Kasih namanya, dan menjalani siksaan di luar batas kewajaran manusia. Sebagai gambaran saja, tubuh Winston sampai menjadi seperti kerangka berbalut kulit, rambut yang sejengkal tersisa, muka yang tidak bisa lagi dikenali, deretan gigi yang rontok, tubuh yang membungkuk, dan berjalan pun sampai tidak bisa tanpa terjatuh. Pada saat itu Winston masih kuat melakukan perlawanan di dalam pikiran, karena masih ada satu hal yang tidak tersentuh oleh siksaan Partai; bahwa dia tidak mengkhianati perasaannya kepada Julia.
Sungguh betapa besar perasaan Winston kepada Julia, kau mungkin berkata seperti itu. Partai tentu tidak ingin menyerah begitu saja. Mereka akhirnya melakukan siksaan terakhir yang begitu hebat. Mereka melakukan siksaan berdasarkan trauma yang paling ditakuti oleh setiap orang, dalam kasus Winston dia takut terhadap tikus. Ketakutannya itu akhirnya membuat pikirannya menyerah dan dia mengkhianati Julia.
Dia dibebaskan.
Hanya untuk sebentar saja menghirup udara bebas. Beberapa waktu setelahnya mereka memanggilnya ke pengadilan, memaksanya mengakui setiap perbuatan yang dilakukannya maupun yang tidak dilakukannya. Winston akhirnya menemui ajalnya dalam kondisi yang memilukan; tubuh dan pikirannya dipaksa menyerah kepada Bung Besar dan Partai. Bahkan di akhir kematiannya pun saat peluru menembus belakang kepalanya, dia mengakui di dalam pikirannya bahwa dia mencintai Bung Besar.
Kehidupan yang penuh tekanan seperti itu, aku harap tidak kita rasakan di negeri ini. Sudah pernah selama tiga puluh dua tahun silam pernah dan untungnya tidak seekstrem Oceania; negara tempat Winston melakukan perlawanannya yang sia-sia. Bila benar negara ini seperti tempat Winston berada, ketika kau menulis sesuatu yang bertentangan sedikit saja, mungkin keesokan harinya akan diuapkan dan keberadaanmu di dunia seketika itu juga dihapuskan.

Selasa, 25 Juli 2017

Kahlil Gibran: Cerita Tentang Sayap-Sayap Patah dan Kisah Cinta yang Sederhana

Sempat aku berpikir sudah berapa lama kau hadir di dalam pikiranku. Masih terasa seperti kemarin ketika aku bertemu denganmu dalam bentukmu yang sederhana. Pertemuan yang mengesankan, memang, karena sampai detik ini aku masih berusaha menjalin perasaan ini ke dirimu yang entah berada di dimensi apa. Omong-omong tentang pertemuan dan perasaan, atau cinta, aku menemukan sebuah cerita yang akan mengingatkanmu akan cerita-cerita romansa orang-orang terdahulu, seperti Romeo dan Juliet atau Layla Majnun kesukaanmu. Beruntung aku menemukan cerita Sayap-Sayap Patah, judul novel karangan Kahlil Gibran; tentu tak asing namanya bagimu, kau menyukai cerita Sang Nabi sampai kita pernah memperagakan diri menjadi Sang Nabi di hadapan masing-masing, berbicara petuah dan nasihat seakan kita domba-domba yang tersesat.
Aku menyukai cerita ini, jujur saja, meski ceritanya terbilang sederhana. Seorang laki-laki bernama Gibran; nama ini pasti akan membuatmu berpikir bahwa tokoh ini merupakan si pengarang sendiri, tapi perlu kau garisbawahi bahwa bagaimanapun juga tokoh Gibran ini adalah tokoh fiksi. Seandainya bisa memutar waktu dan bertemu dengannya di suatu padang pasir, aku mungkin akan bertanya kepadanya apakah ini adalah cerita pengalaman pribadinya atau bukan, yang mana bertemu dengan seorang gadis cantik jelita bernama Selma Karamy yang berumur dua tahun lebih tua darinya; Gibran berumur delapan belas tahun saat itu, dan jatuh cinta pada pandangan pertamanya. Sesederhana itu sampai takdir memisahkan mereka berdua. Mungkin perlu aku berterimakasih kepada Uskup dan kemenakannya yang akhirnya menikahi Selma karena tanpa mereka berdua cerita ini tidak akan ada konflik, dan cerita cinta yang tidak memiliki konflik akan sangat membosankan untuk dibaca.
Bagaimana mereka bisa dipisahkan, kau mungkin bertanya begitu. Uskup di dalam cerita ini menggunakan kekuasaannya terlalu banyak sampai dia berlaku sewenang-wenang pada akhirnya. Kekuasaan yang terlampau banyak, apalagi di bidang yang menyangkut kepercayaan religius seperti ini, kecuali kau seorang nabi dan orang-orang saleh, memang selalu akan membawa dampak buruk. Uskup mengawinkan kemenakannya, seorang pria dengan sifat buruk bernama Mansour Bey Ghalib, yang sama sekali tidak dicintai Selma demi harta keluarganya sebab ayah Selma, Faris Effendi Karamy sudah tidak lagi muda dan kesehatannya tidak sebaik dulu, dan kesempatan ini tentu tidak dilewatkan begitu saja bagi mereka yang tamak.
Singkat cerita mereka menikah dengan tidak bahagia. Gibran yang masih pertama kali mengenal cinta merasakan betapa menyakitkannya cinta itu. Beruntung bagi dia, masih ada kesempatan untuk mengobati rasa sakit itu setiap sebulan sekali, sebab itu pertemuan yang akhirnya direncanakan dia dan Selma untuk melakukan pertemuan tersebut tiap-tiap bulan berikutnya tanpa sepengetahuan orang lain tentunya. Hubungan gelap ini berlangsung terus sampai akhirnya Selma merasa tidak bisa lagi bertahan dan memilih mengorbankan dirinya agar Gibran tidak berada dalam bahaya akibat pertemuan-pertemuan rahasia mereka. Uskup telah menaruh curiga padanya dan menyuruh pesuruh-pesuruhnya menjadi mata dan telinga di jalan-jalan yang dilalui Selma.
Lantas bagaimana mengakhiri sebuah kisah cinta yang sederhana, adalah dengan menaruh kematian yang dramatis di ujung cerita. Selma meninggal saat melahirkan anak pertamanya dan kepergiannya ini semakin meninggalkan luka mendalam di hati Gibran; seorang laki-laki terakhir yang tetap tinggal di kuburannya untuk meratapi kesedihannya.
Selain kisah cinta yang sederhana ini, aku suka permainan bahasa yang digunakan pengarang untuk mengisahkan kisahnya. Kepiawaiannya dalam mengolah metafora untuk mendeskripsikan cinta yang absurd sampai aku sebagai pembaca mengerti seberapa dalam perasaan itu tumbuh di dalam hati kedua tokoh tersebut membuatku betah membacanya sampai ke akhir cerita; meski tidak bisa aku pungkiri, terkadang rasa lelah datang tiba-tiba membaca metafora yang begitu berlimpah. Rasanya mungkin seperti aku merayumu terus-menerus tanpa jeda, tentu kau akan bosan mendengarnya. Mungkin perlu dimaklumi ini menjadi kekurangan dari teknik berkisah pengarang pada novel ini, selain karena ini buku pertama sebelum dua buku selanjutnya, yaitu Sang Nabi dan Yesus Anak Manusia.

Jumat, 27 Januari 2017

Michel Tournier dan Cerita tentang Petualangan Lain Robinson Crusoe

Beberapa waktu sebelumnya aku pernah bercerita kepadamu mengenai kehidupanku yang seolah-olah berada di dalam penjara. Mungkin kau mengira sejak saat itu aku akan berubah dan pergi meninggalkan penjara buatanku itu. Aku harus bilang kepadamu, perkiraanmu itu hampir sepenuhnya benar sebab hidupku sekarang lebih terasa bebas dibanding sebelumnya, tapi tetap aku terkungkung di dalam penjara ini. Penjaranya pun tentu terasa berbeda karena kali ini, dengan kebebasan yang mulai aku rasakan, aku seperti berada di sebuah pulau kosong tak berpenghuni seperti pulau tempat Robinson Crusoe berada.
Ah, sudah lama tidak mendengar nama itu disebutkan, kau pasti akan berkata begitu sambil mengingat cerita petualangan Robinson tersebut. Ini bisa jadi sedikit kabar gembira buatmu karena aku menemukan cerita lain yang mirip sekali dengan cerita Robinson Crusoe. Semenjak Daniel Defoe menulis cerita tersebut, yang tentu kau pun tahu cerita itu ditulis berdasarkan kisah nyata, banyak penulis lain yang terinspirasi dan menulis hal yang kurang lebih serupa. Dulu kita pernah menemukan cerita karangan Johann David Wyss yang berjudul Swiss Family Robinson, ceritanya serupa hanya tokohnya tergolong banyak karena berasal dari sebuah keluarga Swiss. Kau pernah berkomentar bahwa buku itu terasa membosankan karena kegiatan mereka serba dapat dilakukan karena adanya peralatan yang seperti dimunculkan begitu saja oleh si pengarang. Sekarang aku menemukan lagi yang aku rasa tidak terlalu membosankan. Ceritanya berjudul Kehidupan Liar dan masih berpusat pada tokoh Robinson, hanya saja kali ini dia memiliki teman bernama Vendredi, seorang budak yang tidak disengaja diselamatkan olehnya.
Michel Tournier memulai semuanya dari sebuah kapal yang tenggelam dan Robinson adalah satu-satunya orang yang selamat. Meski tidak sepenuhnya benar-benar sendiri, sebab pada kemudian waktu ternyata ada seekor anjing dari kapal tersebut, bernama Tenn, yang ternyata juga selamat. Kehidupan Robinson mulai berbeda ketika dia merasa ada yang perlu dilakukan agar jiwanya tetap sehat. Apakah dia pernah merasakan jiwanya mulai tidak sehat, kau mungkin bertanya begitu. Dia memang pernah merasakannya Lita. Bayangkan saja, dia sampai berhalusinasi melihat sebuah kapal yang berlayar di pinggir pulau tersebut dengan mengangkut adik perempuannya yang sudah lama meninggal. Dia juga pernah berkubang di dalam lumpur dengan uap beracun selama berhari-hari tanpa dia sadari karena keputusasaannya akibat gagal membuat sebuah perahu. Titik tolak kebangkitan Robinson dimulai dari sana. Dia mulai membangun tempat-tempat penyimpanan bahan makanan, menyusunnya hingga rapi, membuat pertanian, membuat rumah di dalam gua. Bahkan untuk membuat dirinya tidak kehilangan kemampuan berbicara, dia menulis peraturan-peraturan dan upacara-upacara yang dilakukannya dengan berbicara keras-keras, termasuk ke Tenn. Peradaban yang diingatnya sewaktu masih di kota coba dihadirkan kembali di pulau tersebut. Sepertinya dia akan bisa hidup dengan bahagia dan jiwanya tetap sehat, kau pasti berkata demikian sambil bersyukur Robinson tidak kenapa-kenapa.
Perjalanan hidup Robinson semakin berwarna ketika suatu waktu datang sekelompok suku yang melakukan ritual yang sangat mengerikan. Ritual itu dilakukan dengan membunuh seorang dari kelompok tersebut sebagai bentuk penghilang bala dan sial yang terjadi di kampung mereka. Pada ritual yang pertama Robinson merasa sangat ketakutan sampai dia menjadi paranoid dan membangun benteng pertahanan di sekitar mulut goa tempat tinggalnya. Pada kesempatan berikutnya ketika suku tersebut datang lagi, Robinson bersiap dengan membawa sepucuk pistol dan mengawasi dari kejauhan. Kejadian yang tidak terduga pun terjadi. Salah seorang dari calon korban berhasil melawan dan melarikan diri tepat ke arah persembunyian Robinson. Karena situasinya begitu mendadak dan mengancam dirinya, Robinson melepaskan tembakan ke salah seorang pengejar si calon korban tersebut. Orang tersebut akhirnya berhasil melarikan diri dan bertemu dengan Robinson. Dia dinamai Vendredi oleh Robinson karena dia tidak bisa bahasa Inggris dan karena hari itu merupakan hari Jumat. Vendredi artinya hari Jumat.
Pasti menyenangkan bagi Robinson memiliki teman di pulau kosong tersebut, kau pasti berkata begitu. Memang menyenangkan pada awalnya, namun tidak setelah terjadi perubahan dalam diri Robinson. Dia menjadikan dirinya sebagai penguasa dan Vendredi dijadikannya budak yang disuruh-suruhnya melakukan banyak pekerjaan. Vendredi tentu awalnya tidak bisa menolak karena dia berhutang nyawa kepadanya. Kau pasti jadi teringat dengan kesan penjajahan yang dilakukan Robinson terhadap Vendredi. Rasanya familiar seperti pernah terjadi di negeri kita sewaktu bangsa asing datang dan menjajah kaum pribumi. Hampir sebagian besar cerita berpusat pada tindakan ‘menjajah’ yang dilakukan Robinson terhadap Vendredi. Kesan dari wacana kolonialisme memang begitu kental pada bagian cerita ini, bagaimana Robinson berusaha menjadikan dirinya seorang penguasa, menerapkan aturan-aturan yang menurutnya beradab dan memandang bahwa Vendredi berasal dari kaum yang tidak beradab. Padahal mungkin saja pandangan itu menjadi relatif karena bisa saja bagi kaum Vendredi apa yang dilakukan mereka merupakan suatu yang beradab dan Robinson adalah kebalikannya. Permainan yang menyenangkan melihat sudut pandang mana yang kira-kira benar. Dan aku rasa Vendredi berada pada posisi yang tidak menyenangkan sejak awal kemunculannya. Sungguh malang dia. Namun, semua itu tentu ada batasnya, bukan? mungkin kau bertanya demikian sambil mengharap ada sesuatu yang terjadi terhadap Robinson.
Sesuatu yang besar dan mengubah segalanya akhirnya terjadi. Tanpa sengaja, Vendredi membuang pipa rokok yang masih menyala ke dalam dasar gua yang berisi puluhan tong bubuk mesiu. Sebuah ledakan yang sangat besar terjadi, meluluhlantakkan seluruh isi goa, bangunan-bangunan, dan tanah-tanah pertanian di sekitarnya. Untungnya mereka berdua tidak apa-apa, hanya luka dan memar di sana-sini yang tidak begitu serius. Mulai dari kejadian itu, Vendredi ‘mengambil alih’ kehidupan di pulau tersebut. Dia mengajak Robinson untuk hidup bebas tanpa aturan-aturan dan upacara-upacara yang menyiksa tersebut dan nyatanya mereka berdua berhasil hidup bahagia. Mereka mulai meninggalkan peradaban yang dianggap Robinson sebagai suatu kepastian dan menjadikan diri mereka bebas merdeka dalam arti yang sebenarnya.
Kehidupan yang bahagia tersebut berlangsung sampai pada suatu ketika datang sebuah kapal layar yang hendak mengambil air tawar dan perbekalan bahan makanan di sana. Mereka tidak menduga ada Robinson dan Vendredi yang hidup berdua dalam waktu yang lama di pulau kosong tersebut. Mereka lalu mengajak untuk pergi meninggalkan pulau. Robinson merasa enggan karena dia sudah menemukan kedamaian di sana. Lain halnya dengan Vendredi, dia memilih ikut secara diam-diam karena dia memang sudah jatuh cinta pada kapal tersebut (dia sangat menyukai tantangan dan petualangan baru). Betapa sedihnya Robinson mengetahui kepergian Vendredi.
Apakah dia akhirnya hidup sendiri, kau mungkin bertanya demikian.
Tidak, dia menemukan pengganti Vendredi lagi-lagi secara tidak terduga. Salah seorang anak muda dari kapal tersebut melarikan diri dari sana karena tidak tahan dengan siksaan dan hukuman yang dilakukan kepadanya. Robinson menemukan cahaya hidupnya yang baru dan dia menamakan anak itu dengan nama Dimanche, yang berarti hari Minggu.
Semoga saja Robinson tidak mengulangi lagi perbuatannya ‘menjajah’ seperti yang dilakukannya dulu kepada Vendredi, kau mungkin berharap demikian sambil membayangkan kehidupan mereka berdua begitu bahagia.

Kamis, 08 Desember 2016

Nawal el Saadawi dan Jatuhnya Sang Imam: Cerita tentang Kejatuhan Seorang Pemimpin Agama

Masih teringat dengan jelas di dalam kepalaku, cerita tentang seseorang yang mampu memunculkan lembaran uang dari udara seperti seorang penyihir di buku cerita. Dia memakai jubah panjang dan mengaku memiliki kemampuan yang begitu hebat. Orang-orang pun mempercayainya karena takjub oleh keajaiban yang dilihat oleh mata kepala mereka sendiri serta ditambah cerita-cerita yang beredar kemudian sehingga mereka sepakat untuk mengangkatnya sebagai seorang maha guru. Sayangnya, cerita tentang keajaiban orang tersebut yang telah lama melekat di dalam kepala pengikutnya hanyalah sebuah cerita kebohongan yang diciptakannya untuk mengelabui banyak orang.
Mungkin kau sudah pernah mendengar cerita tentangnya, Lita. Kau pasti akan geram dan ingin mencubitnya gemas karena tega mengelabui orang-orang yang tidak tahu dan kurang memiliki pengetahuan agama yang kini menjadi pengikutnya. Cerita tentangnya ini kemudian menyadarkanku betapa agama bisa dipakai oleh orang-orang tidak bertanggungjawab seperti orang itu sebagai kedok untuk mengelabui banyak orang, sekadar untuk mendapatkan harta dan kekuasaan semata.
Aku kemudian teringat kalau pernah membaca sebuah cerita yang modusnya kurang lebih serupa. Hanya saja orang itu tidak memunculkan lembaran uang dari udara dan tidak terjadi di negeri kita. Ceritanya mengambil tempat di dataran Mesir, saat kepemimpinan berada di tangan Sang Imam. Cerita apik yang dikarang oleh Nawal el Saadawi ini berjudul Jatuhnya Sang Imam. Dari judulnya mungkin kau sudah bisa menerka seperti apa garis besar ceritanya.
Ceritanya sendiri cukup kompleks kalau aku boleh bilang karena berputar pada banyak tokoh yang saling berkaitan dengan perpindahan yang melompat-lompat seperti seekor kancil, dari satu tokoh di satu bagian beralih ke tokoh lain di bab berikutnya tanpa diberitahu dengan jelas tokoh-tokoh itu bernama siapa. Terkadang aku menerka-nerkanya sendiri dan ujung-ujungnya salah sampai aku membolak-balik halaman untuk memastikan siapa tokoh-tokoh ini, terutama untuk mencari hubungannya dengan tokoh utama, seorang anak perempuan bernama Bintullah, anak hasil hubungan gelap Sang Imam dengan seorang perempuan miskin dan Sang Imam sendiri tidak mau mengakuinya.
Perjalanan Bintullah mencari identitas dirinya dan kedua orangtuanya ini membawanya ke dalam intrik-intrik kejam seputar kekuasaan, agama, dan politik. Mungkin kau bisa membayangkan bagaimana susahnya hidup Bintullah di saat masyarakat tempatnya tinggal begitu memuja Sang Imam dan tidak mungkin mereka mempercayai bahwa Bintullah adalah anak dari Sang Imam karena itu sebuah aib dan dosa yang tidak mungkin diterima begitu saja oleh pemimpin agama seperti Sang Imam.
Sang Imam juga bukanlah sosok yang sempurna seperti yang dibayangkan oleh pengikutnya. Dia pernah memperkosa Bintullah saat dia berada di panti asuhan dan juga teman-temannya. Dia juga melakukan poligami dengan tidak adil. Selain itu, untuk mempertahankan kekuasaannya pun dia melakukan banyak cara mulai dari melobi-lobi kelompok-kelompok tertentu, menebar mata-mata, bahkan menciptakan suatu ilusi dengan mempekerjakan seorang bodyguard yang didandani mirip dengannya sampai hanya istrinya dan Kepala Keamanan saja yang mampu membedakannya, tujuannya untuk melindungi dirinya dari serangan-serangan lawan politiknya.
Sekarang mungkin saatnya kau menghembuskan napas dan menarik dalam-dalam udara supaya perasaanmu menjadi tenang kembali. Aku pun juga begitu. Cerita ini membuatku terbawa emosi karena menyadari kejadian yang serupa pun juga terjadi di dunia nyata. Bukankah menjadi suatu hal yang lucu rasanya, betapa manusia begitu mudahnya dikelabui oleh orang-orang tidak bertanggungjawab yang berkedok agama itu.
Lantas bagaimana akhir dari pencarian Bintullah, apakah dia berhasil, kau pasti akan bertanya tidak sabaran seperti itu. Dia berhasil. Sayangnya bukan dalam artian seperti yang kau maksud. Dia berhasil untuk menemui kematiannya sendiri. Dia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Seandainya saja masyarakat tempat Bintullah berada tidak gelap mata dan mampu mengimbangi agama dengan akal pikiran, mungkin pencarian Bintullah terhadap keadilan akan menemui jalan yang terang dan Sang Imam yang telah berbuat banyak kesalahan bisa dijatuhi hukuman yang setimpal sesuai kesalahannya.
Seandainya saja keadilan yang dicari Bintullah justru terjadi di negeri kita sekarang, kau mungkin berkata demikian sembari diam mengheningkan cipta.

Selasa, 06 Desember 2016

Supernova Petir Dewi Lestari, Cerita tentang Seorang yang Memiliki Kemampuan Ajaib Setelah Tersambar Petir

Sudah berapa hari cuaca di sini mendung hujan dan mendung hujan lagi, sampai aku tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk mencuci dan menjemur baju yang mulai menjamur ini. Kalau kau berada di sini, mungkin kau akan memarahiku setelah melihat tumpukan baju di sudut kamarku itu. Mau bagaimana lagi, cuacanya tidak mendukung.
Beberapa hari yang lalu di saat mendung kemudian hujan disertai petir itu, aku jadi teringat sebuah cerita yang berhubungan dengan petir. Kebetulan cerita ini dikarang oleh pengarang kesukaanmu, Lita. Nama bukunya Petir, karangan Dewi Lestari. Mungkin aku sudah pernah bercerita betapa aku menyenangi serial Supernova pada seri yang pertamanya, kemudian aku kecewa karena dahaga yang ditimbulkan oleh seri pertamanya tidak dapat dipenuhi di buku yang kedua, Akar. Tidak apa, katamu waktu itu, mungkin di seri selanjutnya dahagamu akan terpenuhi. Sebenarnya aku sulit mengatakannya, tapi untuk kedua kalinya, dahagaku sama sekali tidak terpenuhi.
Cerita Petir dimulai dari gambaran pasangan sejenis yang pertama kali menciptakan badai serotonin di dalam pikiranku, Dhimas dan Rhuben. Setelah bertahun-tahun novel pertama mereka rilis dan mengalami kebuntuan jalan cerita selanjutnya, mereka akhinya menemukan sebuah ilham. Ceritanya sendiri kemudian berputar pada seorang anak perempuan keturunan Tionghoa bernama Elektra. Dia dinamakan demikian karena ayahnya seorang ahli elektronik sehingga ketertarikannya pada listrik menginspirasinya untuk memberi nama demikian. Mungkin dari sini kamu sudah mulai mengerutkan alismu, terkesan dipaksakan bukan kalau melihat Etra, nama panggilannya, tinggal di kota Bandung dengan sosial budaya yang tidak pas rasanya ada nama ilmiah yang asing seperti itu. Itu persoalan pertama. Setelah ditinggal mati ayahnya Etra dan saudari kandungnya, Watti, mulai menempuh jalan hidup masing-masing. Watti ikut suaminya yang muslim (Watti sendiri menjadi mualaf) ke dataran Papua di Freeport sedangkan Etra luntang-lantung mencari pekerjaan karena dia mulai menyadari tidak bisa bertahan hidup dari warisan yang ditinggalkan ayahnya. Dia mulai ikut kegiatan Multi Level Marketing tapi gagal sampai dia juga secara sadar tidak sadar karena putus asa tidak dapat pekerjaan, mengisi lamaran kerja ke dunia gaib. Perjalanan Etra mencari pekerjaan ini membawanya ke sebuah rumah tempat seorang yogi bernama Ibu Sati berada.
Perjalanan Etra pun sesungguhnya dimulai dari sana.
Etra mulai mengenal teknologi internet, mulai mengenal teman-teman baru yang akan memperkenalkannya pada dunia warnet, kemudian berkembang menjadi usaha warnet milik sendiri setelah mendapat bantuan dari seorang bernama Mpret. Hampir setengah buku menceritakan hal itu.
Lantas, di mana hubungannya dengan petir itu berada? Mungkin kau akan berkata tidak sabaran. Waktu Etra kecil dia pernah tersambar petir. Kejadian tersebut menimbulkan kelainan di dalam dirinya. Dia jadi bisa menghasilkan atau mengalirkan listrik. Aku rasa kau mulai mengernyitkan dahi sekarang. Terasa seperti cerita fiksi di komik-komik atau serial fantasi di televisi. Dia kemudian berlatih bersama Ibu Sati untuk mengendalikan kemampuannya itu dan mengaplikasikannya ke dalam kegiatan positif, seperti menyembuhkan orang lain.
Seperti sudah kubilang sebelumnya, cerita Petir sama sekali tidak memuaskan dahagaku akan seri pertamanya. Ceritanya yang begitu menyimpang dan jauh dari ekspektasiku membuat kekecewaan menjadi sebuah ending yang tidak bisa terelakkan ketika selesai membaca halaman terakhirnya. Memang ceritanya tidak melulu membicarakan masalah Etra yang seperti cerita picisan itu. Dia juga berbicara tentang toleransi antarumat beragama, yang ditunjukkan dari keberagaman penghuni yang muncul di dalam warnet Etra. Aku rasa aku perlu mengangkat topi untuk bagian ini, di saat kondisi sekarang yang kita tahu Lita, rasa toleransi demikian menjadi suatu barang langka yang mesti dijaga di saat serbuan kebencian merebak di kalangan masyarakat yang mengaku beragama.
Selain itu, aku rasa tidak ada lagi yang patut aku ceritakan kepadamu. Terlampau banyak kekecewaan karena aku tidak menemukan kedalaman materi seperti yang diceritakan di seri pertama. Mungkin bagi mereka yang baru tertarik membaca sastra dan sedang mencoba beralih dari cerita populer ke sastra, buku ini bisa dijadikan acuan agar terbiasa, karena bahasa yang digunakannya Lita, asal kau tahu, tidak seberat seperti pada seri pertama di mana aku sangat menikmatinya.
Suatu saat, ada kalanya kau pun perlu membacanya sendiri agar tahu seperti apa dahaga yang aku rasakan dan tidak terpuaskan ini.