Bagaimana kamu memaknai
malam, Lita? Apakah malam adalah waktu ketika matahari terbenam dan bulan yang
benderang muncul di langit? Apakah malam adalah waktu ketika manusia pulang ke
rumahnya masing-masing setelah seharian beraktivitas, atau malah baru berangkat
beraktivitas? Apakah malam adalah gelap? Apakah malam adalah hal yang dekat
dengan kejahatan? Terserah kamu memaknai apa malam itu, tapi aku menemukan
makna lain setelah membaca buku kumpulan cerpen ini. Atas Nama Malam.
Malam ternyata tidak
sebatas pertanyaan yang aku ajukan kepadamu. Malam adalah dunia tersendiri bagi
manusia-manusia yang merasa sendiri. Sendiri dalam artinya yang benar-benar
sendiri, atau sendiri ketika berada di keramaian karena merasa ada yang yang
kosong di dalam hatinya. Sepi. Sunyi. Meski mereka justru beraktivitas di dunia
yang ramai. Di mana ada gemerlap. Hingar bingar. Asap rokok. Lampu disko. Musik
bervolume keras. Bau parfum. Minuman keras. Tubuh perempuan. Lampu jalanan.
Seno menangkap apa yang
dilakukan manusia ketika malam tiba di kota metropolitan. Seperti yang kita
tahu, Jakarta adalah salah satu kota metropolitan yang dimaksud. Kota dengan
segala kemungkinan. Kota dengan segala jenis manusia mampu melakukan segala
jenis kegiatannya. Untuk bertahan hidup. Untuk bisa tidur dan makan keesokan
harinya. Dari tempat-tempat hingar bingar seperti kelab-kelab malam, jalanan
ibukota, bahkan tempat-tempat sepi dan sunyi seperti gang-gang kumuh dan
rumah-rumah mewah yang dihuni manusianya hanya untuk makan dan tidur.
Di dalam bukunya, Seno
membagi cerita-cerita manusia tersebut ke dalam dua fragmen. Fragmen pertama
bernama Suatu Malam, Aku Jatuh Cinta, yang terdiri dari 14 cerita, dan fragmen
kedua bernama Suatu Malam Aku Bercerita, yang terdiri dari 10 cerita. Semuanya
sama-sama menampilkan sosok manusia yang merasa sepi ketika malam tiba, dan ‘memaksa’
mereka beraktivitas di dalamnya, sekadar untuk bertahan hidup. Untuk makan dan
tidur seperti yang aku selalu bilang, Lita.
Fragmen pertama
mengambil cerita khusus dengan tokoh utama seorang lelaki bartender. Hidup
menuntunnya menelusuri seluk-beluk kota Jakarta, hingga terdampar di sebuah
kelab malam. Dia sudah berkelana berbekal ijazah pendidikannya. Macam-macam
pekerjaan dilahapnya, namun dia merasa ada yang kurang. Kekurangannya itu sedikit
terobati dengan pekerjaan barunya sebagai bartender, ketika dia bertemu dengan
seorang penyanyi. Di sana dia mulai mencintainya. Merasa mencintainya.
Seperti sebuah
sandiwara, lelaki bartender tersebut menjalani hidup yang tidak bisa ditebak
bagaimana alur cerita akan membawanya. Dikendalikan oleh sutradara bernama
nasib, dia bertemu dengan pembunuhan, pelacuran, pengharapan, putus harapan,
sampai penutupan, ketika dia menyadari tidak ada yang bisa dilakukan selain
menerima kenyataan dan menjalaninya.
Fragmen kedua mengambil
cerita dari berbagai macam sisi. Yang paling menarik menurutku, tentu cerita “Pelajaran
Mengarang” dan “Bis Malam”. “Pelajaran Mengarang” bercerita tentang seorang
anak perempuan yang sedang mengerjakan tugas pelajaran mengarang oleh gurunya
di kelas. Tentang keluarga. Dan bisa kamu bayangkan Lita, apa yang bisa kita
gambarkan dari keluarga ketika keluarga sendiri tidak bisa hadir sebagaimana
mestinya. Hadir sebagai satu kebutuhan, satu hubungan yang mana tiap-tiap
anggota keluarga menjalankan peran dan fungsinya. Tokoh utamanya sendiri berasal
dari keluarga yang tidak bisa dikatakan sempurna seperti Keluarga Cemara karangan Arswendo. Ibunya pelacur dan bapaknya
entah siapa dan di mana. Sampai tiba waktu pengumpulan tugas tersebut, dia
masih tidak bisa menulis apapun mengenai keluarganya, sedangkan teman-temannya
sudah mengumpulkan. Dan kamu tahu apa yang akhirnya dituliskannya?
Ibuku
seorang pelacur . . . .
Aku pun pasti tidak
bisa menulis apapun mengenai keluargaku, bila aku berada di posisinya, selain
sepatah dua patah kata menyerupai kalimat tersebut. Bagaimana denganmu?
Sedangkan “Bis Malam”, aku suka karena
ketidakjelasan di dalamnya. Mungkin bisa kamu artikan sebagai cerita yang
absurd. Tapi Lita, bukankah dunia sendiri adalah sesuatu yang absurd?
Cerita pendek tersebut
berkisah tentang seorang lelaki yang tidak tahu mau ke mana, tidak ada tujuan,
naik begitu saja ke sebuah bis malam yang dia sendiri tidak tahu mau dibawa ke
mana oleh bis tersebut. Dia duduk di sebelah seorang perempuan berpakaian jaket
kulit hitam, celana hitam ketat, rambut keriting, anting di kanan kiri kuping,
dan sedang tertidur. Tokoh utama tersebut mengalami hal yang tidak terduga. Di
dalam bis, dia melihat adegan-adegan film di tivi kecil yang berada di depan
bis, sama persis dengan apa yang dia lakukan. Tidak hanya itu, perempuan yang
duduk di sebelahnya, dalam keadaan tidur, perlahan menggelayuti dirinya, sampai
bersetubuh dengannya. Anehnya (dan syukurnya) tidak ada penumpang yang
menyadari hal tersebut. Semua pada tertidur. Lelap dalam mimpi masing-masing. Bahkan
supir bis sendiri seperti tidak menyadari. Dia asyik bersenandung
tembang-tembang Jawa. Sampai bis malam tiba di sebuah kota metropolitan pada
pagi harinya, tokoh utama turun di halte bis yang ramai. Cerita berakhir di
sana.
Kalau kamu membaca dan
membayangkannya, bukankah aneh sekali kejadian yang dialami tokoh utama
tersebut, Lita? Hidup tanpa tujuan, naik bis satu ke bis lain. Seperti yang
kita lakukan bukan, pergi dan pulang menjalani aktivitas, namun seakan tanpa
tujuan.
Apa yang sebenarnya
kita cari dari hidup? Sebatas bertahan hidupkah? Untuk makan dan tidur, atau
kawin dan punya anak bila mampu? Dari pagi dan siang berakhir ke malam, apa
yang kita lakukan sering berjalan begitu saja tanpa disadari. Tubuh kita, Lita,
ibarat robot dengan mode autopilot.
Berjalan sendiri. Sampai kita merasa lelah. Lelah dalam arti yang sebenarnya.
Lelah dengan kehidupan yang membuat sepi dan sunyi di hati ini. Dan membuat
kita lari kepada keramaian, kepada hingar bingar di waktu malam, sekadar untuk
mengobati sepi dan sunyi, yang kelak timbul lagi di pagi hari. Atau ketika kita
sendiri. Seperti yang kita alami saat ini.
Lita . . . . Mungkin
sampai di sini tulisanku. Aku bisa mengirimkan buku ini kepadamu bila kamu mau.
Asal kamu mau membalas suratku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar