Sabtu, 25 Oktober 2014

Seno Gumira Ajidarma, Atas Nama Malam, dan Bagaimana Kamu Memaknai Malam



Bagaimana kamu memaknai malam, Lita? Apakah malam adalah waktu ketika matahari terbenam dan bulan yang benderang muncul di langit? Apakah malam adalah waktu ketika manusia pulang ke rumahnya masing-masing setelah seharian beraktivitas, atau malah baru berangkat beraktivitas? Apakah malam adalah gelap? Apakah malam adalah hal yang dekat dengan kejahatan? Terserah kamu memaknai apa malam itu, tapi aku menemukan makna lain setelah membaca buku kumpulan cerpen ini. Atas Nama Malam.
Malam ternyata tidak sebatas pertanyaan yang aku ajukan kepadamu. Malam adalah dunia tersendiri bagi manusia-manusia yang merasa sendiri. Sendiri dalam artinya yang benar-benar sendiri, atau sendiri ketika berada di keramaian karena merasa ada yang yang kosong di dalam hatinya. Sepi. Sunyi. Meski mereka justru beraktivitas di dunia yang ramai. Di mana ada gemerlap. Hingar bingar. Asap rokok. Lampu disko. Musik bervolume keras. Bau parfum. Minuman keras. Tubuh perempuan. Lampu jalanan.
Seno menangkap apa yang dilakukan manusia ketika malam tiba di kota metropolitan. Seperti yang kita tahu, Jakarta adalah salah satu kota metropolitan yang dimaksud. Kota dengan segala kemungkinan. Kota dengan segala jenis manusia mampu melakukan segala jenis kegiatannya. Untuk bertahan hidup. Untuk bisa tidur dan makan keesokan harinya. Dari tempat-tempat hingar bingar seperti kelab-kelab malam, jalanan ibukota, bahkan tempat-tempat sepi dan sunyi seperti gang-gang kumuh dan rumah-rumah mewah yang dihuni manusianya hanya untuk makan dan tidur.
Di dalam bukunya, Seno membagi cerita-cerita manusia tersebut ke dalam dua fragmen. Fragmen pertama bernama Suatu Malam, Aku Jatuh Cinta, yang terdiri dari 14 cerita, dan fragmen kedua bernama Suatu Malam Aku Bercerita, yang terdiri dari 10 cerita. Semuanya sama-sama menampilkan sosok manusia yang merasa sepi ketika malam tiba, dan ‘memaksa’ mereka beraktivitas di dalamnya, sekadar untuk bertahan hidup. Untuk makan dan tidur seperti yang aku selalu bilang, Lita.
Fragmen pertama mengambil cerita khusus dengan tokoh utama seorang lelaki bartender. Hidup menuntunnya menelusuri seluk-beluk kota Jakarta, hingga terdampar di sebuah kelab malam. Dia sudah berkelana berbekal ijazah pendidikannya. Macam-macam pekerjaan dilahapnya, namun dia merasa ada yang kurang. Kekurangannya itu sedikit terobati dengan pekerjaan barunya sebagai bartender, ketika dia bertemu dengan seorang penyanyi. Di sana dia mulai mencintainya. Merasa mencintainya.
Seperti sebuah sandiwara, lelaki bartender tersebut menjalani hidup yang tidak bisa ditebak bagaimana alur cerita akan membawanya. Dikendalikan oleh sutradara bernama nasib, dia bertemu dengan pembunuhan, pelacuran, pengharapan, putus harapan, sampai penutupan, ketika dia menyadari tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima kenyataan dan menjalaninya.
Fragmen kedua mengambil cerita dari berbagai macam sisi. Yang paling menarik menurutku, tentu cerita “Pelajaran Mengarang” dan “Bis Malam”. “Pelajaran Mengarang” bercerita tentang seorang anak perempuan yang sedang mengerjakan tugas pelajaran mengarang oleh gurunya di kelas. Tentang keluarga. Dan bisa kamu bayangkan Lita, apa yang bisa kita gambarkan dari keluarga ketika keluarga sendiri tidak bisa hadir sebagaimana mestinya. Hadir sebagai satu kebutuhan, satu hubungan yang mana tiap-tiap anggota keluarga menjalankan peran dan fungsinya. Tokoh utamanya sendiri berasal dari keluarga yang tidak bisa dikatakan sempurna seperti Keluarga Cemara karangan Arswendo. Ibunya pelacur dan bapaknya entah siapa dan di mana. Sampai tiba waktu pengumpulan tugas tersebut, dia masih tidak bisa menulis apapun mengenai keluarganya, sedangkan teman-temannya sudah mengumpulkan. Dan kamu tahu apa yang akhirnya dituliskannya?
Ibuku seorang pelacur . . . .
Aku pun pasti tidak bisa menulis apapun mengenai keluargaku, bila aku berada di posisinya, selain sepatah dua patah kata menyerupai kalimat tersebut. Bagaimana denganmu?
Sedangkan “Bis Malam”, aku suka karena ketidakjelasan di dalamnya. Mungkin bisa kamu artikan sebagai cerita yang absurd. Tapi Lita, bukankah dunia sendiri adalah sesuatu yang absurd?
Cerita pendek tersebut berkisah tentang seorang lelaki yang tidak tahu mau ke mana, tidak ada tujuan, naik begitu saja ke sebuah bis malam yang dia sendiri tidak tahu mau dibawa ke mana oleh bis tersebut. Dia duduk di sebelah seorang perempuan berpakaian jaket kulit hitam, celana hitam ketat, rambut keriting, anting di kanan kiri kuping, dan sedang tertidur. Tokoh utama tersebut mengalami hal yang tidak terduga. Di dalam bis, dia melihat adegan-adegan film di tivi kecil yang berada di depan bis, sama persis dengan apa yang dia lakukan. Tidak hanya itu, perempuan yang duduk di sebelahnya, dalam keadaan tidur, perlahan menggelayuti dirinya, sampai bersetubuh dengannya. Anehnya (dan syukurnya) tidak ada penumpang yang menyadari hal tersebut. Semua pada tertidur. Lelap dalam mimpi masing-masing. Bahkan supir bis sendiri seperti tidak menyadari. Dia asyik bersenandung tembang-tembang Jawa. Sampai bis malam tiba di sebuah kota metropolitan pada pagi harinya, tokoh utama turun di halte bis yang ramai. Cerita berakhir di sana.
Kalau kamu membaca dan membayangkannya, bukankah aneh sekali kejadian yang dialami tokoh utama tersebut, Lita? Hidup tanpa tujuan, naik bis satu ke bis lain. Seperti yang kita lakukan bukan, pergi dan pulang menjalani aktivitas, namun seakan tanpa tujuan.
Apa yang sebenarnya kita cari dari hidup? Sebatas bertahan hidupkah? Untuk makan dan tidur, atau kawin dan punya anak bila mampu? Dari pagi dan siang berakhir ke malam, apa yang kita lakukan sering berjalan begitu saja tanpa disadari. Tubuh kita, Lita, ibarat robot dengan mode autopilot. Berjalan sendiri. Sampai kita merasa lelah. Lelah dalam arti yang sebenarnya. Lelah dengan kehidupan yang membuat sepi dan sunyi di hati ini. Dan membuat kita lari kepada keramaian, kepada hingar bingar di waktu malam, sekadar untuk mengobati sepi dan sunyi, yang kelak timbul lagi di pagi hari. Atau ketika kita sendiri. Seperti yang kita alami saat ini.

Lita . . . . Mungkin sampai di sini tulisanku. Aku bisa mengirimkan buku ini kepadamu bila kamu mau. Asal kamu mau membalas suratku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar