Sabtu, 16 September 2017

George Orwell, 1984, dan Bagaimana Bung Besar Mengawasimu


Aku sepertinya belum pernah bercerita kepadamu tentang keputusanku untuk pergi meninggalkan salah satu halaman media sosial tempatku meratap sejak mengenal internet itu kemarin. Rasanya aku tidak lagi menemukan ketenangan yang seharusnya bisa aku temukan di sana; sebuah bilik tempat aku bisa menyendiri dari hiruk-pikuk warga sosial media yang girang sekali meramaikan segala sesuatu, apapun itu. Berbagai macam isu-isu politik, agama, sara, digoreng sedemikian rupa menjadi sebuah menu hidangan yang tidak layak dimakan.
Salah satu isunya adalah pemerintahan sekarang merupakan jelmaan pemerintahan yang diktator. Bukan aku ingin membela, melainkan memang jujur saja aku tidak menemukan hal yang berkaitan atau berhubungan dengan diktator itu di pemerintahan sekarang. Mereka hanya kurang bersyukur aku rasa karena terlalu rakus memakan hidangan yang digoreng dari isu-isu yang tidak sehat di media sosial sekarang. Kurangnya pengetahuan bagaimana mengunyah, menelan, dan mencerna hidangan sejenis itu yang tidak banyak kulihat pada diri mereka.
Isu ini juga yang kemudian membangkitkan kenanganku tentang Winston Smith; dia datang mengetuk pintu kepalaku sambil tertatih-tatih minta tolong, kalau kau ingin tahu, dari sebuah novel berjudul 1984 karangan George Orwell. Mendengar namanya aku rasa kau akan segera mengingat tentang sebuah cerita yang pernah kita baca di bawah pohon di samping peternakan musim panas lalu, Animal Farm, fabel yang membuatmu tertarik; tidak seperti biasanya, terhadap politik.
Kalau di dalam cerita Animal Farm masih ditampilkan bagaimana perjuangan melawan pemimpin diktator dan totaliter itu akhirnya terjadi, di 1984 jangan harap bisa menemukannya. Orwell benar-benar mengembangkan teori kekuasaan sampai titik yang ekstrem. Suasana yang ditimbulkan oleh keekstreman sistem pemerintahan tersebut sungguh membuat Winston Smith, tokoh utamanya, akhirnya tidak lagi merasa menjadi manusia saking tidak berdayanya dia; sekujur tubuh dan seluruh pikirannya benar-benar ditekan dan dipaksa untuk patuh kepada Bung Besar dan Partai.
Dia memang mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak benar setelah lama bekerja sebagai anggota Partai. Sekarang bayangkan saja, Partai memiliki kekuasaan absolut hampir seperti Tuhan; mereka mampu mengendalikan masa depan, masa sekarang, dan masa silam melalui berbagai tindakan mengubah sejarah dengan mengganti sesegera mungkin informasi-informasi yang dirasa tidak tepat. Lantas bagaimana bila ada yang tetap mengingat atau menyimpan informasi yang tidak tepat, mungkin kau bertanya demikian. Jawabannya sederhana, mereka akan diuapkan; bahasa halus untuk membunuh mereka. Partai juga mampu mengendalikan segala macam bidang yang berkaitan dengan kehidupan warga negara, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik.
Winston tidak bisa menyimpannya terus menerus kegundahan hatinya tersebut, sebab segala tingkah laku semua warga negara diawasi oleh Partai; ada namanya teleskrin, semacam alat seperti televisi dan radio yang mampu menangkap suara dan gambar di sekitarmu, ada juga sepasukan Polisi Pikiran yang keberadaannya tidak dapat diketahui sampai mereka menghampirimu, menyergapmu atas tuduhan melakukan crime-think, kejahatan-pikiran, bahkan di dalam rumah yang nyaman tempat kau seharusnya menemukan rasa aman ada sepasukan Mata-Mata yang beranggotakan anak-anakmu sendiri, mereka mengawasi orang tua mereka dan akan melaporkan kepada Polisi Pikiran apabila orang tuanya ketahuan melakukan kejahatan-pikiran, bahkan seperti igauan atau salah ucap pun akan membuatmu dilaporkan oleh anakmu sendiri.
Setidaknya dia tidak benar-benar tertekan setelah menemukan sedikit cara untuk menumpahkan kegundahan hatinya tersebut; sebuah buku harian yang tidak sengaja dia temukan di sebuah toko loak di daerah pinggiran tempat kaum Proletariat atau kaum Prol bermukim. Dia mulai membuat tempat persembunyian di flatnya, tepatnya di sebuah sudut di mana dia tidak akan terlihat oleh teleskrin ataupun orang lain yang kebetulan mungkin akan masuk ke dalam flat, dan menulis rasa kesal dan bencinya kepada Bung Besar dan Partai. Setelah lama hanya berkutat pada buku harian, Winston akhirnya menemukan seseorang yang sepemikiran dengannya, seorang perempuan bernama Julia.
Mereka menyadari tidak ada bentuk perlawanan yang bisa dilakukan kepada Partai dalam bentuk perjuangan fisik. Perlawanan tersebut akhirnya dilakukan dalam bentuk pikiran dan perasaan. Mereka mulai menjalin cinta dan mengadakan pertemuan secara rahasia pada waktu-waktu tertentu, sekadar untuk bisa merasakan kembali menjadi manusia utuh; manusia yang diliputi oleh perasaan cinta yang tulus tanpa tekanan dan paksaan.
Rasanya mereka berdua akan mampu menjalani perlawanan tersebut terus-menerus, mungkin kau akan bertanya demikian. Memang mereka berharap sepertimu, tapi mereka akhirnya ketahuan juga. Orang-orang yang mereka temui dan mereka anggap sebagai orang yang sepemikiran ternyata tidak lain merupakan Polisi Pikiran yang sedang menyamar. Mereka kemudian digelandang ke sebuah kementrian, Kementrian Cinta Kasih namanya, dan menjalani siksaan di luar batas kewajaran manusia. Sebagai gambaran saja, tubuh Winston sampai menjadi seperti kerangka berbalut kulit, rambut yang sejengkal tersisa, muka yang tidak bisa lagi dikenali, deretan gigi yang rontok, tubuh yang membungkuk, dan berjalan pun sampai tidak bisa tanpa terjatuh. Pada saat itu Winston masih kuat melakukan perlawanan di dalam pikiran, karena masih ada satu hal yang tidak tersentuh oleh siksaan Partai; bahwa dia tidak mengkhianati perasaannya kepada Julia.
Sungguh betapa besar perasaan Winston kepada Julia, kau mungkin berkata seperti itu. Partai tentu tidak ingin menyerah begitu saja. Mereka akhirnya melakukan siksaan terakhir yang begitu hebat. Mereka melakukan siksaan berdasarkan trauma yang paling ditakuti oleh setiap orang, dalam kasus Winston dia takut terhadap tikus. Ketakutannya itu akhirnya membuat pikirannya menyerah dan dia mengkhianati Julia.
Dia dibebaskan.
Hanya untuk sebentar saja menghirup udara bebas. Beberapa waktu setelahnya mereka memanggilnya ke pengadilan, memaksanya mengakui setiap perbuatan yang dilakukannya maupun yang tidak dilakukannya. Winston akhirnya menemui ajalnya dalam kondisi yang memilukan; tubuh dan pikirannya dipaksa menyerah kepada Bung Besar dan Partai. Bahkan di akhir kematiannya pun saat peluru menembus belakang kepalanya, dia mengakui di dalam pikirannya bahwa dia mencintai Bung Besar.
Kehidupan yang penuh tekanan seperti itu, aku harap tidak kita rasakan di negeri ini. Sudah pernah selama tiga puluh dua tahun silam pernah dan untungnya tidak seekstrem Oceania; negara tempat Winston melakukan perlawanannya yang sia-sia. Bila benar negara ini seperti tempat Winston berada, ketika kau menulis sesuatu yang bertentangan sedikit saja, mungkin keesokan harinya akan diuapkan dan keberadaanmu di dunia seketika itu juga dihapuskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar