Kamis, 08 Desember 2016

Nawal el Saadawi dan Jatuhnya Sang Imam: Cerita tentang Kejatuhan Seorang Pemimpin Agama

Masih teringat dengan jelas di dalam kepalaku, cerita tentang seseorang yang mampu memunculkan lembaran uang dari udara seperti seorang penyihir di buku cerita. Dia memakai jubah panjang dan mengaku memiliki kemampuan yang begitu hebat. Orang-orang pun mempercayainya karena takjub oleh keajaiban yang dilihat oleh mata kepala mereka sendiri serta ditambah cerita-cerita yang beredar kemudian sehingga mereka sepakat untuk mengangkatnya sebagai seorang maha guru. Sayangnya, cerita tentang keajaiban orang tersebut yang telah lama melekat di dalam kepala pengikutnya hanyalah sebuah cerita kebohongan yang diciptakannya untuk mengelabui banyak orang.
Mungkin kau sudah pernah mendengar cerita tentangnya, Lita. Kau pasti akan geram dan ingin mencubitnya gemas karena tega mengelabui orang-orang yang tidak tahu dan kurang memiliki pengetahuan agama yang kini menjadi pengikutnya. Cerita tentangnya ini kemudian menyadarkanku betapa agama bisa dipakai oleh orang-orang tidak bertanggungjawab seperti orang itu sebagai kedok untuk mengelabui banyak orang, sekadar untuk mendapatkan harta dan kekuasaan semata.
Aku kemudian teringat kalau pernah membaca sebuah cerita yang modusnya kurang lebih serupa. Hanya saja orang itu tidak memunculkan lembaran uang dari udara dan tidak terjadi di negeri kita. Ceritanya mengambil tempat di dataran Mesir, saat kepemimpinan berada di tangan Sang Imam. Cerita apik yang dikarang oleh Nawal el Saadawi ini berjudul Jatuhnya Sang Imam. Dari judulnya mungkin kau sudah bisa menerka seperti apa garis besar ceritanya.
Ceritanya sendiri cukup kompleks kalau aku boleh bilang karena berputar pada banyak tokoh yang saling berkaitan dengan perpindahan yang melompat-lompat seperti seekor kancil, dari satu tokoh di satu bagian beralih ke tokoh lain di bab berikutnya tanpa diberitahu dengan jelas tokoh-tokoh itu bernama siapa. Terkadang aku menerka-nerkanya sendiri dan ujung-ujungnya salah sampai aku membolak-balik halaman untuk memastikan siapa tokoh-tokoh ini, terutama untuk mencari hubungannya dengan tokoh utama, seorang anak perempuan bernama Bintullah, anak hasil hubungan gelap Sang Imam dengan seorang perempuan miskin dan Sang Imam sendiri tidak mau mengakuinya.
Perjalanan Bintullah mencari identitas dirinya dan kedua orangtuanya ini membawanya ke dalam intrik-intrik kejam seputar kekuasaan, agama, dan politik. Mungkin kau bisa membayangkan bagaimana susahnya hidup Bintullah di saat masyarakat tempatnya tinggal begitu memuja Sang Imam dan tidak mungkin mereka mempercayai bahwa Bintullah adalah anak dari Sang Imam karena itu sebuah aib dan dosa yang tidak mungkin diterima begitu saja oleh pemimpin agama seperti Sang Imam.
Sang Imam juga bukanlah sosok yang sempurna seperti yang dibayangkan oleh pengikutnya. Dia pernah memperkosa Bintullah saat dia berada di panti asuhan dan juga teman-temannya. Dia juga melakukan poligami dengan tidak adil. Selain itu, untuk mempertahankan kekuasaannya pun dia melakukan banyak cara mulai dari melobi-lobi kelompok-kelompok tertentu, menebar mata-mata, bahkan menciptakan suatu ilusi dengan mempekerjakan seorang bodyguard yang didandani mirip dengannya sampai hanya istrinya dan Kepala Keamanan saja yang mampu membedakannya, tujuannya untuk melindungi dirinya dari serangan-serangan lawan politiknya.
Sekarang mungkin saatnya kau menghembuskan napas dan menarik dalam-dalam udara supaya perasaanmu menjadi tenang kembali. Aku pun juga begitu. Cerita ini membuatku terbawa emosi karena menyadari kejadian yang serupa pun juga terjadi di dunia nyata. Bukankah menjadi suatu hal yang lucu rasanya, betapa manusia begitu mudahnya dikelabui oleh orang-orang tidak bertanggungjawab yang berkedok agama itu.
Lantas bagaimana akhir dari pencarian Bintullah, apakah dia berhasil, kau pasti akan bertanya tidak sabaran seperti itu. Dia berhasil. Sayangnya bukan dalam artian seperti yang kau maksud. Dia berhasil untuk menemui kematiannya sendiri. Dia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Seandainya saja masyarakat tempat Bintullah berada tidak gelap mata dan mampu mengimbangi agama dengan akal pikiran, mungkin pencarian Bintullah terhadap keadilan akan menemui jalan yang terang dan Sang Imam yang telah berbuat banyak kesalahan bisa dijatuhi hukuman yang setimpal sesuai kesalahannya.
Seandainya saja keadilan yang dicari Bintullah justru terjadi di negeri kita sekarang, kau mungkin berkata demikian sembari diam mengheningkan cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar