Sebenarnya cerita ini
kudapat dari seseorang yang tidak bisa kusebutkan namanya. Seorang lelaki yang
menghampiriku ketika sedang duduk-duduk di bawah pohon dekat kampus. Seperti ada
batu besar di kepalanya, dia duduk di sebelahku dengan wajah tertunduk, dan
tanpa terlebih dahulu mengenalkan namanya dia bercerita tentang apa yang
dilakukan kepada kekasihnya.
“Aku telah memotong
sayap seekor kupu-kupu, dan kupu-kupu itu adalah kekasihku.”
Kau tentu membayangkan
betapa aneh dan tidak nyaman situasinya. Dihampiri seorang yang tidak kau kenal
dan disodorkan cerita seperti itu. Juga mengapa dia menceritakan hal tersebut
aku tidak tahu. Dia hanya membalas dengan jawaban begini, “Aku percayakan
cerita ini kepadamu. Mau kamu tulis atau dibiarkan mengendap dalam pikiranmu
pun aku tidak peduli. Aku hanya mau melepaskan kenanganku tentang dia, sebelum
aku pergi. Bukankah suatu hal yang baik, bila melakukan perjalanan dengan hati
yang riang gembira tanpa beban apa pun?”
Aku setuju dengan hal
itu. Demi memperoleh suatu perjalanan yang baik, setiap orang mesti
mempersiapkan segalanya matang-matang, termasuk tidak membawa hal-hal yang
dianggap tak perlu dan terkesan membawa takdir buruk. Seperti temanku yang
belum lama ini mencukur habis rambutnya yang gondrong sejak awal masuk kuliah,
sebelum melakukan perjalanan panjang menyelesaikan ujian skripsi, katanya untuk
membuang sial dan membuat pikiran lebih segar.
Tentang tujuan
perjalanannya sendiri dia hanya menyebutkan akan pergi ke barat. Pergi ke
negeri-negeri di mana orang-orang yang tiba di sana tidak bisa kembali lagi.
“Mungkin ini perjalanan terakhirku, sebab tidak ada lagi perjalanan
menyenangkan seperti ketika dulu bertemu kupu-kupu itu.”
Kekasihnya tersebut,
aku menyebutnya begitu daripada kupu-kupu, ditemuinya kali pertama ketika tiba
di kampus pada satu hari Senin, sedang dia duduk tepekur menanti masuk kelas
dengan membaca buku. Kalau kau tahu, yang membuatnya jatuh hati padanya itu
tidak jauh beda menurutku dengan cerita dalam sebuah babad kerajaan masa lalu.
Ketika seorang pencoleng terpesona pada pancaran cahaya dari betis seorang
istri penguasa saat itu, begitu pula yang dialami lelaki ini. Kekasihnya
berjalan di depannya, tepat saat angin bermain-main dengan roknya yang
berkibar-kibar.
“Jujur saja, aku jadi
melihat sosok Dedes di betis itu. Mungkin aku jelmaan reinkarnasi Arok, kalau
kau percaya pada dongeng-dongeng. Dongeng yang menimbulkan nyala pada api yang
lama mati, dan nyala api itu membakar kata-kata dari buku yang kubaca.
Membuatku tidak bisa membaca buku selama beberapa minggu.”
“Aku tahu ada sesuatu
yang salah ditimbulkan dari betis itu, selain menyalakan api yang sudah lama
mati, pancaran cahayanya mengacaukan mataku dan mengubah setiap orang yang
kulihat menjadi betis-betis yang berjalan. Salah seorang temanku, yang kuanggap
ahli dalam bidang kejiwaan mengatakan bahwa aku bisa saja gila bila tidak
segera menemukan penyembuhnya. Berbekal petuah darinya, aku mengikuti jalan
panjang berliku-liku untuk mengantarkanku kepada betis itu.”
“Puncaknya ketika aku berhasil
menyingkirkan dinding maluku, betis itu hadir lagi di depanku dari balik roknya
yang tersingkap. Sengaja atau tidak, aku tahu, dari matanya yang berbicara, dia
tidak sekadar sengaja.”
*
Ketika diberi fotonya, kekasihnya
yang berubah menjadi kupu-kupu itu pernah aku lihat pada satu malam di warung
kopi, sedang tertawa bersama asap rokok di sekelilingnya, teman-temannya yang
lain pun mengelilinginya, masing-masing bersama asap rokok. Dia menarik
perhatianku saat itu karena ada sepasang kepompong di dadanya, begitu besar dan
menonjol, sama seperti penjelasannya.
Kepompong adalah ulat
yang sedang tidur untuk kemudian berubah menjadi kupu-kupu. Lelaki ini sendiri
juga tidak tahu bagaimana bisa ulat itu ada di dadanya untuk tidur panjang
dalam balutan kepompong.
Belakangan temannya
memberitahu perihal keberadaan kepompong di dada kekasihnya. Temannya itu
sebenarnya sudah bilang berapa kali kepadanya, untuk tidak sembarang memakan
dedaunan di pinggir jalan yang kita tidak tahu dari tanaman apa itu, apakah tanamannya
berpenyakit atau tidak. Namun, tetap saja dia pergi ketika lelaki ini sedang
membuat sangkar yang nyaman untuknya.
Seperti anak kecil yang
suka jajan sembarangan dari bakul-bakul di pinggir jalan, yang lalu menyebabkan
sakit perut di hari kemudian, kekasihnya itu pun mengalami hal yang sama. Hanya
saja, sakitnya bukan lagi bagian perut, melainkan lebih ke bawah lagi, tempat ulat
itu beristirahat setelah memakan dedaunan yang ditemuinya.
“Semenjak itu tidak ada
lagi orang yang sudi didekatinya, selain aku. Dirundung kesedihan dan
kekecewaan karena dikhianati teman-temannya, aku mencoba merangkulnya kembali,
kujadikan diriku sangkar yang nyaman untuknya sampai dia sembuh dari sakitnya.”
“Aku bahkan berteman
dengan waktu dan uang, menjadikannya pendukung ketika obat-obatan menjadi teman
yang jahat dengan harganya yang terbang setinggi burung.”
Sampai ketika kepompong
itu gagal menjadi kupu-kupu dan menjadi ulat lagi, aku rasa segala yang
dikorbankan lelaki ini terbayar juga.
“Terima kasih sudah
menjadi sangkarku yang nyaman,” kata kekasihnya itu pada suatu pagi.
Lelaki ini hanya
tersenyum saja.
*
Selepas sembuhnya,
mereka berdua sepakat untuk mencari sangkar yang lebih nyaman lagi, tidak
sebatas kamar kecil dengan satu kasur, tanpa dapur, dan kamar mandi di luar.
Butuh lebih dari itu untuk bisa hidup berdua.
Mereka kemudian menemukan
sebuah pondokan kayu di tepi sungai. Pondokan kecil yang terdiri dari satu
kamar tidur dengan kasur cukup besar untuk berdua, satu ruang tengah sebagai
ruang tamu dan makan, dapur, dan kamar mandi berlatar sungai di halaman
belakang. Mereka mengontraknya patungan, lelaki ini sampai menjual beberapa
buku tuanya yang cukup langka kepada kolektor dengan harga lumayan, cukup untuk
hidup mengontrak satu dua bulan.
Selama beberapa hari
awal itu, lelaki ini mengaku pondokan mereka adalah istana tempat surga berada.
Menyenangkan hatinya, bisa bangun di pagi hari oleh suara knalpot kendaraan,
anak-anak yang dimarahi ibunya karena belum mandi, dan aroma sampah dari sungai
di belakang rumah, sebab berdua bersama kekasihnya. Sebagai lelucon di pagi
hari, mereka menganggapnya sebagai aliran susu coklat yang diturunkan dari
surga dengan rasa manis dan harum menggoda.
Sebagai penopang,
lelaki ini memutuskan untuk menggeluti bidang yang menarik perhatiannya,
tentang kata-kata dan buku. Dia melamar bekerja sebagai editor di sebuah
penerbitan kecil, dan diterima langsung pada saat itu juga. Sedangkan
kekasihnya, lelaki ini memilih membebaskannya untuk bekerja membantu menopang
pondokan mereka. Dan inilah kesalahan awal, yang kemudian menjadi batu-batu
yang membentur kepala dan dada lelaki ini.
Seperti yang kau tahu,
ulat adalah sejenis hama yang tidak akan jera untuk datang dan
menghabiskan dedaunan yang ditemuinya di pinggir jalanan. Meski kau telah
menyemprotnya dengan semprotan pestisida, dia akan datang lagi. Bedanya dengan
lelaki ini, dia tidak menggunakan pestisida, alih-alih dia menggunakan
kata-kata, nasihat dan tindakan, lebih dari itu tidak.
Dengan keputusan itu,
lelaki ini menguatkan kepala dan dadanya untuk tidak goyah dihantam batu-batu
yang dilempar oleh takdir dari sana-sini. Seseorang pernah mengatakan kepadanya
bahwa dia melihat kekasihnya berada di semak-semak, memakani dedaunan, lalu
seseorang itu pergi dengan melempar batu tepat di dadanya.
“Kau harusnya tidak
membiarkan kekasihmu makan dedaunan di jalanan. Bukankah kau punya uang untuk
beli nasi?”
Tidak seberapa luka
lelaki ini, hanya memar, yang hanya perlu diolesinya dengan balsam setiap kali
kekasihnya pulang. Dan setiap kali kekasihnya pulang membawa uang, dia tidak
berani menanyakan dari mana datangnya.
“Setidaknya kita masih
bisa hidup untuk beberapa hari ke depan, berterimakasihlah kepadaku,” ucap kekasihnya
sebelum dia pergi tidur seharian, meninggalkannya seorang diri di ruang tengah
bersama sepi yang mengoyak bibirnya, menahan keluarnya kata-kata.
Sebagai seorang lelaki,
adalah sebuah tanggung jawab untuk mencari nafkah. Berapa pun hasilnya. Dia
meniru perkataan ibunya di selang ceritanya kepadaku.
“Dan aku adalah lelaki
yang bertanggung jawab, meski hasil yang didapat belum bisa memenuhi kebutuhan
kami yang semakin meningkat.”
“Seharusnya kau
membicarakan hal ini sebelum melanjutkan hubungan dengannya?” kataku.
“Kau seperti tidak tahu
bagaimana rasanya jatuh cinta. Manusia macam apa yang bisa berpaling dari
kehangatan nyala api di dalam dada mereka, ketika dunia adalah kenyataan yang
dingin di luar sana?”
*
Betapa pun kuatnya
sangkar yang kau buat, selalu ada celah yang membuatnya rapuh. Kau hanya perlu
membuka pintu kecilnya, dan burung yang kau pelihara pun terbang melewatinya.
Atau sangkar burung di pepohonan, yang terbuat dari ranting dan air liur, tak
ubahnya secarik kertas ketika angin bertiup kencang. Begitu juga dengan
pondokan lelaki ini. Kecuali, kau membuat juga fondasi yang kuat.
Lelaki ini mengaku
berusaha membangun fondasi yang kuat, yang mampu menahan badai agar tidak
menerbangkan atap pondokannya, hanya saja, angin yang berembus muncul dari
celah yang justru dari dalam dirinya sendiri. Kekasihnya memilih menjelma ulat
yang memakan dedaunan di pinggir jalan. Dedaunan dengan rasa yang lebih enak
dibandingkan semak belukar yang dia punya. Juga tangkai dedaunan yang menopang
kuat.
Itulah salah satu
masalah lain yang menimpanya. Tangkai yang menjulur dari semak belukarnya tak
mampu menopang berat badan ulat yang merayap di atasnya. Awalnya terlihat
kokoh, namun ketika kau sentuh tak ubahnya daun putri malu.
Dia sudah
memeriksakannya ke dokter, namun dokter hanya memberi dongeng yang
kemanjurannya tidak bisa dipercaya. Apalagi setelah dia membuktikannya dengan
minum dongeng tersebut sesuai apa kata dokter, dan selang berapa minggu tangkai
itu masih sama dengan daun putri malu yang membuatnya semakin malu.
“Seharusnya sebagai
kekasih yang sama-sama menjaga nyala api, dia bisa menerimaku apa adanya. Tapi
tahukah kau, dia malah mengatakan begini.”
“Sebenarnya nyala apiku
masih ada, hanya ulat di dalam perutku tidak cukup kuat, menghadapi dinginnya udara
luar berbekal nyala api kecil saja.”
“Aku pun begitu.”
“Dia lapar dan butuh
makan. Dan kau tidak bisa menyediakannya, makanya aku pergi mencarinya.”
“Tapi jalanmu itu
salah, tidak jerakah kau dengan sakitmu dulu?”
“Kalau begitu, carilah
uang lebih banyak untuk bisa membeli pupuk mahal supaya tangkaimu itu bisa
berdiri tegak!”
“Aku sudah mencobanya,
tapi takdir berkata lain!”
“Takdir telah
mengubahmu menjadi seorang lelaki yang tak layak!”
Setelah pembicaraan
itu, kekasihnya pergi lalu pulang ketika hari sudah menjelang pagi. Dari
mulutnya tercium aroma getah. Sepertinya dia pergi ke semak-semak, mematahkan
tangkai, dan mengisap cairannya sebagai makanan penutup. Dan yang tidak bisa
dipercaya lelaki ini lagi penglihatannya, dia sudah berubah menjadi seekor
kupu-kupu.
“Kau terbang ke mana
hari ini, aku khawatir.”
“Bukan urusanmu.”
*
Ibunya pernah bercerita
tentang seorang salih yang begitu sabarnya menghadapi kaumnya, yang terus
menerus menghujaninya dengan cercaan dan cacian sampai Tuhan menjanjikannya
sebuah tempat tertinggi di langit. Karena lelaki ini suka sekali cerita, dia
berkata kepada ibunya, “Kurasa aku perlu bilang kepada Tuhan untuk memesankan
satu tempat lagi buatmu, Bu.”
Ibunya adalah orang
baik, maka didoakannya supaya mendapat tempat tertinggi di langit, bukan untuk
dirinya, tapi untuk anaknya. Dan lelaki ini tahu bahwa ibunya mendoakan supaya
yang mendapat tempat adalah dirinya, bukan ibunya. Ibunya tidak perlu meminta
kepada Tuhan karena sudah pasti dipesankan satu tempat khusus untuknya. Sebab
ibunya begitu sabar menahan sakit akibat gigitan ulat-ulat yang bersarang di
dadanya.
Lelaki ini kemudian
berdoa supaya Tuhan segera menjemput ibunya agar segera pindah ke langit. Dan
Tuhan mengabulkan doanya. Beberapa hari kemudian ibunya mati dimakan ulat-ulat,
ketika dia berada di semak-semak mengumpulkan ranting untuk dijual menjadi kayu
api, supaya lelaki ini bisa makan tiap hari.
Dulu dia percaya Tuhan karena
mengabulkan doanya. Sekarang dia percaya lagi kepadaNya, agar mengabulkan satu
doanya yang lain. Supaya memesankan satu tempat lagi di langit. Dan dia dengan
berbesar hati bersedia mempersilahkan seorang lain untuk menempati tempatnya
itu.
“Aku harap kekasihku
bersedia menerima tawaranku. Sudah lama aku mendoakannya supaya dia menjadi
orang baik seperti ibu, tapi sayang, kelakuannya tidak menunjukkan perubahan
yang berarti. Hanya wujudnya yang telah berubah, menjadi kupu-kupu. Mungkin
Tuhan pun juga sudah lelah mendengar doaku, maka kuputuskan untuk mempercepat
terkabulnya doa itu.”
Satu malam, ketika
kekasihnya sedang tidur, tidak pulang pagi seperti biasanya, lelaki ini sendiri
pun heran mengapa bisa terjadi demikian, terbersit pikiran untuk menggunakan
kesempatan itu. Mengembalikan wujudnya menjadi yang dulu, ketika dia masih
berupa ulat yang bergantung kepadanya, menggelayuti tubuhnya, dan tidak
memedulikan rantingnya yang malu-malu seperti daun putri malu.
Dia ingat siangnya
membeli sebuah pisau baru, untuk masak rencananya. Tapi, dia hendak mengajak
pisau itu untuk berkompromi. Sambil mengendap-ngendap dari tempat tidur ke
dapur, seperti maling padahal di rumah sendiri, ditemuinya pisau itu.
“Hei pisau, aku akan
menjadikanmu seorang nabi.”
“Benarkah? Beruntung
sekali hidupku, apa yang harus aku lakukan?”
“Kau hanya perlu
membawa kebajikan kepada salah satu umatmu yang tersesat. Tunjukkan dia jalan
yang terang. Aku akan membantumu.”
Pisau itu kemudian
berjalan menyusuri bukit dan gunung sambil membawa risalah Tuhan. Ketika
dilihatnya umatnya yang tersesat, dia sudah tidak sabar untuk segera bertindak.
“Tenang, kau hanya
perlu mengikuti perintahku.”
Sayap kekasihnya
diposisikan sedemikian rupa, sehingga sekali iris bisa langsung putus. Dia
tentu tidak mengharapkan kekasihnya berubah menjadi seekor domba menggantikan
tempatnya, sebab tidak ada alasan untuk itu. Irisan pertama dilakukan dan
kekasihnya terbangun. Tersentak. Menjerit.
“Apa yang kau lakukan
dengan sayapku!”
“Aku hendak
memotongnya, sudah satu sayap, tinggal satu lagi.”
“Kau gila!”
“Aku memang gila
padamu.”
“Menjauh atau aku
teriak!”
“Kembalilah ke jalan
yang terang!” pisau itu ikut serta.
Tepat sebelum
kekasihnya berteriak, didekap mulutnya. Dia melawan. Kepalan tangannya yang
bebas sempat memukul wajah lelaki ini, tepat di mulutnya. Dia rasa ada gigi
yang tanggal. Darah mengalir dari bibirnya, seakan rembesan air dari puncak goa
yang kelam. Mereka bergumul di dalamnya.
Saat kekasihnya
kehabisan tenaga, kesempatan itu tidak disia-siakan lelaki ini dan nabinya.
Sepotong sayap jatuh lagi ke lantai. Kekasihnya menjerit panjang, lalu
tertidur. Pulas. Lelaki ini mengira kekasihnya sedang menjalani fase metamorfosis
kebalikan menjadi ulat, maka dia segera beranjak mencari bungkus kepompongnya.
Pisaunya sendiri dibebaskan dari tugasnya yang berat sebagai nabi. “Sekarang
kau kuangkat ke langit atas jasamu.” Lalu pisau itu terbang melalui jendela.
Selesai membungkusnya, lelaki
ini berbaring. Dia mengaku sudah lama tidak bisa berbaring begitu rileks
seperti saat itu.
“Dan kau tahu, betapa
terkejutnya aku, saat bangun dia masuk ke kamar dengan kedua sayap kupu-kupunya
masih ada, tanpa luka irisan segores pun. Juga dari mulutnya tercium aroma
getah.”
“Kau masih menjadi
kupu-kupu, kekasihku.”
“Bukan urusanmu,
sayang.”
Selebihnya lelaki ini
lebih banyak diam. Meninggalkanku dengan kenangan dan banyak tanya. Siapa
lelaki ini, apa yang sebenarnya terjadi dengan kekasihnya, dan mengapa aku
mendengarkan ceritanya sampai habis pun aku tidak punya jawaban. Yang kutahu,
mungkin ketika aku menceritakan cerita ini kepadamu, sekarang dia sedang
melakukan perjalanan panjang ke barat, ke negeri orang-orang mati.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar