Senin, 06 April 2015

[Cerpen] Lelaki yang Memotong Sayap Kupu-Kupu

Sebenarnya cerita ini kudapat dari seseorang yang tidak bisa kusebutkan namanya. Seorang lelaki yang menghampiriku ketika sedang duduk-duduk di bawah pohon dekat kampus. Seperti ada batu besar di kepalanya, dia duduk di sebelahku dengan wajah tertunduk, dan tanpa terlebih dahulu mengenalkan namanya dia bercerita tentang apa yang dilakukan kepada kekasihnya.
“Aku telah memotong sayap seekor kupu-kupu, dan kupu-kupu itu adalah kekasihku.”
Kau tentu membayangkan betapa aneh dan tidak nyaman situasinya. Dihampiri seorang yang tidak kau kenal dan disodorkan cerita seperti itu. Juga mengapa dia menceritakan hal tersebut aku tidak tahu. Dia hanya membalas dengan jawaban begini, “Aku percayakan cerita ini kepadamu. Mau kamu tulis atau dibiarkan mengendap dalam pikiranmu pun aku tidak peduli. Aku hanya mau melepaskan kenanganku tentang dia, sebelum aku pergi. Bukankah suatu hal yang baik, bila melakukan perjalanan dengan hati yang riang gembira tanpa beban apa pun?”
Aku setuju dengan hal itu. Demi memperoleh suatu perjalanan yang baik, setiap orang mesti mempersiapkan segalanya matang-matang, termasuk tidak membawa hal-hal yang dianggap tak perlu dan terkesan membawa takdir buruk. Seperti temanku yang belum lama ini mencukur habis rambutnya yang gondrong sejak awal masuk kuliah, sebelum melakukan perjalanan panjang menyelesaikan ujian skripsi, katanya untuk membuang sial dan membuat pikiran lebih segar.
Tentang tujuan perjalanannya sendiri dia hanya menyebutkan akan pergi ke barat. Pergi ke negeri-negeri di mana orang-orang yang tiba di sana tidak bisa kembali lagi. “Mungkin ini perjalanan terakhirku, sebab tidak ada lagi perjalanan menyenangkan seperti ketika dulu bertemu kupu-kupu itu.”
Kekasihnya tersebut, aku menyebutnya begitu daripada kupu-kupu, ditemuinya kali pertama ketika tiba di kampus pada satu hari Senin, sedang dia duduk tepekur menanti masuk kelas dengan membaca buku. Kalau kau tahu, yang membuatnya jatuh hati padanya itu tidak jauh beda menurutku dengan cerita dalam sebuah babad kerajaan masa lalu. Ketika seorang pencoleng terpesona pada pancaran cahaya dari betis seorang istri penguasa saat itu, begitu pula yang dialami lelaki ini. Kekasihnya berjalan di depannya, tepat saat angin bermain-main dengan roknya yang berkibar-kibar.
“Jujur saja, aku jadi melihat sosok Dedes di betis itu. Mungkin aku jelmaan reinkarnasi Arok, kalau kau percaya pada dongeng-dongeng. Dongeng yang menimbulkan nyala pada api yang lama mati, dan nyala api itu membakar kata-kata dari buku yang kubaca. Membuatku tidak bisa membaca buku selama beberapa minggu.”
“Aku tahu ada sesuatu yang salah ditimbulkan dari betis itu, selain menyalakan api yang sudah lama mati, pancaran cahayanya mengacaukan mataku dan mengubah setiap orang yang kulihat menjadi betis-betis yang berjalan. Salah seorang temanku, yang kuanggap ahli dalam bidang kejiwaan mengatakan bahwa aku bisa saja gila bila tidak segera menemukan penyembuhnya. Berbekal petuah darinya, aku mengikuti jalan panjang berliku-liku untuk mengantarkanku kepada betis itu.”
“Puncaknya ketika aku berhasil menyingkirkan dinding maluku, betis itu hadir lagi di depanku dari balik roknya yang tersingkap. Sengaja atau tidak, aku tahu, dari matanya yang berbicara, dia tidak sekadar sengaja.”
*
Ketika diberi fotonya, kekasihnya yang berubah menjadi kupu-kupu itu pernah aku lihat pada satu malam di warung kopi, sedang tertawa bersama asap rokok di sekelilingnya, teman-temannya yang lain pun mengelilinginya, masing-masing bersama asap rokok. Dia menarik perhatianku saat itu karena ada sepasang kepompong di dadanya, begitu besar dan menonjol, sama seperti penjelasannya.
Kepompong adalah ulat yang sedang tidur untuk kemudian berubah menjadi kupu-kupu. Lelaki ini sendiri juga tidak tahu bagaimana bisa ulat itu ada di dadanya untuk tidur panjang dalam balutan kepompong.
Belakangan temannya memberitahu perihal keberadaan kepompong di dada kekasihnya. Temannya itu sebenarnya sudah bilang berapa kali kepadanya, untuk tidak sembarang memakan dedaunan di pinggir jalan yang kita tidak tahu dari tanaman apa itu, apakah tanamannya berpenyakit atau tidak. Namun, tetap saja dia pergi ketika lelaki ini sedang membuat sangkar yang nyaman untuknya.
Seperti anak kecil yang suka jajan sembarangan dari bakul-bakul di pinggir jalan, yang lalu menyebabkan sakit perut di hari kemudian, kekasihnya itu pun mengalami hal yang sama. Hanya saja, sakitnya bukan lagi bagian perut, melainkan lebih ke bawah lagi, tempat ulat itu beristirahat setelah memakan dedaunan yang ditemuinya.
“Semenjak itu tidak ada lagi orang yang sudi didekatinya, selain aku. Dirundung kesedihan dan kekecewaan karena dikhianati teman-temannya, aku mencoba merangkulnya kembali, kujadikan diriku sangkar yang nyaman untuknya sampai dia sembuh dari sakitnya.”
“Aku bahkan berteman dengan waktu dan uang, menjadikannya pendukung ketika obat-obatan menjadi teman yang jahat dengan harganya yang terbang setinggi burung.”
Sampai ketika kepompong itu gagal menjadi kupu-kupu dan menjadi ulat lagi, aku rasa segala yang dikorbankan lelaki ini terbayar juga.
“Terima kasih sudah menjadi sangkarku yang nyaman,” kata kekasihnya itu pada suatu pagi.
Lelaki ini hanya tersenyum saja.
*
Selepas sembuhnya, mereka berdua sepakat untuk mencari sangkar yang lebih nyaman lagi, tidak sebatas kamar kecil dengan satu kasur, tanpa dapur, dan kamar mandi di luar. Butuh lebih dari itu untuk bisa hidup berdua.
Mereka kemudian menemukan sebuah pondokan kayu di tepi sungai. Pondokan kecil yang terdiri dari satu kamar tidur dengan kasur cukup besar untuk berdua, satu ruang tengah sebagai ruang tamu dan makan, dapur, dan kamar mandi berlatar sungai di halaman belakang. Mereka mengontraknya patungan, lelaki ini sampai menjual beberapa buku tuanya yang cukup langka kepada kolektor dengan harga lumayan, cukup untuk hidup mengontrak satu dua bulan.
Selama beberapa hari awal itu, lelaki ini mengaku pondokan mereka adalah istana tempat surga berada. Menyenangkan hatinya, bisa bangun di pagi hari oleh suara knalpot kendaraan, anak-anak yang dimarahi ibunya karena belum mandi, dan aroma sampah dari sungai di belakang rumah, sebab berdua bersama kekasihnya. Sebagai lelucon di pagi hari, mereka menganggapnya sebagai aliran susu coklat yang diturunkan dari surga dengan rasa manis dan harum menggoda.
Sebagai penopang, lelaki ini memutuskan untuk menggeluti bidang yang menarik perhatiannya, tentang kata-kata dan buku. Dia melamar bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan kecil, dan diterima langsung pada saat itu juga. Sedangkan kekasihnya, lelaki ini memilih membebaskannya untuk bekerja membantu menopang pondokan mereka. Dan inilah kesalahan awal, yang kemudian menjadi batu-batu yang membentur kepala dan dada lelaki ini.
Seperti yang kau tahu, ulat adalah sejenis hama yang tidak akan jera untuk datang   dan menghabiskan dedaunan yang ditemuinya di pinggir jalanan. Meski kau telah menyemprotnya dengan semprotan pestisida, dia akan datang lagi. Bedanya dengan lelaki ini, dia tidak menggunakan pestisida, alih-alih dia menggunakan kata-kata, nasihat dan tindakan, lebih dari itu tidak.
Dengan keputusan itu, lelaki ini menguatkan kepala dan dadanya untuk tidak goyah dihantam batu-batu yang dilempar oleh takdir dari sana-sini. Seseorang pernah mengatakan kepadanya bahwa dia melihat kekasihnya berada di semak-semak, memakani dedaunan, lalu seseorang itu pergi dengan melempar batu tepat di dadanya.
“Kau harusnya tidak membiarkan kekasihmu makan dedaunan di jalanan. Bukankah kau punya uang untuk beli nasi?”
Tidak seberapa luka lelaki ini, hanya memar, yang hanya perlu diolesinya dengan balsam setiap kali kekasihnya pulang. Dan setiap kali kekasihnya pulang membawa uang, dia tidak berani menanyakan dari mana datangnya.
“Setidaknya kita masih bisa hidup untuk beberapa hari ke depan, berterimakasihlah kepadaku,” ucap kekasihnya sebelum dia pergi tidur seharian, meninggalkannya seorang diri di ruang tengah bersama sepi yang mengoyak bibirnya, menahan keluarnya kata-kata.
Sebagai seorang lelaki, adalah sebuah tanggung jawab untuk mencari nafkah. Berapa pun hasilnya. Dia meniru perkataan ibunya di selang ceritanya kepadaku.
“Dan aku adalah lelaki yang bertanggung jawab, meski hasil yang didapat belum bisa memenuhi kebutuhan kami yang semakin meningkat.”
“Seharusnya kau membicarakan hal ini sebelum melanjutkan hubungan dengannya?” kataku.
“Kau seperti tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Manusia macam apa yang bisa berpaling dari kehangatan nyala api di dalam dada mereka, ketika dunia adalah kenyataan yang dingin di luar sana?”
*
Betapa pun kuatnya sangkar yang kau buat, selalu ada celah yang membuatnya rapuh. Kau hanya perlu membuka pintu kecilnya, dan burung yang kau pelihara pun terbang melewatinya. Atau sangkar burung di pepohonan, yang terbuat dari ranting dan air liur, tak ubahnya secarik kertas ketika angin bertiup kencang. Begitu juga dengan pondokan lelaki ini. Kecuali, kau membuat juga fondasi yang kuat.
Lelaki ini mengaku berusaha membangun fondasi yang kuat, yang mampu menahan badai agar tidak menerbangkan atap pondokannya, hanya saja, angin yang berembus muncul dari celah yang justru dari dalam dirinya sendiri. Kekasihnya memilih menjelma ulat yang memakan dedaunan di pinggir jalan. Dedaunan dengan rasa yang lebih enak dibandingkan semak belukar yang dia punya. Juga tangkai dedaunan yang menopang kuat.
Itulah salah satu masalah lain yang menimpanya. Tangkai yang menjulur dari semak belukarnya tak mampu menopang berat badan ulat yang merayap di atasnya. Awalnya terlihat kokoh, namun ketika kau sentuh tak ubahnya daun putri malu.
Dia sudah memeriksakannya ke dokter, namun dokter hanya memberi dongeng yang kemanjurannya tidak bisa dipercaya. Apalagi setelah dia membuktikannya dengan minum dongeng tersebut sesuai apa kata dokter, dan selang berapa minggu tangkai itu masih sama dengan daun putri malu yang membuatnya semakin malu.
“Seharusnya sebagai kekasih yang sama-sama menjaga nyala api, dia bisa menerimaku apa adanya. Tapi tahukah kau, dia malah mengatakan begini.”
“Sebenarnya nyala apiku masih ada, hanya ulat di dalam perutku tidak cukup kuat, menghadapi dinginnya udara luar berbekal nyala api kecil saja.”
“Aku pun begitu.”
“Dia lapar dan butuh makan. Dan kau tidak bisa menyediakannya, makanya aku pergi mencarinya.”
“Tapi jalanmu itu salah, tidak jerakah kau dengan sakitmu dulu?”
“Kalau begitu, carilah uang lebih banyak untuk bisa membeli pupuk mahal supaya tangkaimu itu bisa berdiri tegak!”
“Aku sudah mencobanya, tapi takdir berkata lain!”
“Takdir telah mengubahmu menjadi seorang lelaki yang tak layak!”
Setelah pembicaraan itu, kekasihnya pergi lalu pulang ketika hari sudah menjelang pagi. Dari mulutnya tercium aroma getah. Sepertinya dia pergi ke semak-semak, mematahkan tangkai, dan mengisap cairannya sebagai makanan penutup. Dan yang tidak bisa dipercaya lelaki ini lagi penglihatannya, dia sudah berubah menjadi seekor kupu-kupu.
“Kau terbang ke mana hari ini, aku khawatir.”
“Bukan urusanmu.”
*
Ibunya pernah bercerita tentang seorang salih yang begitu sabarnya menghadapi kaumnya, yang terus menerus menghujaninya dengan cercaan dan cacian sampai Tuhan menjanjikannya sebuah tempat tertinggi di langit. Karena lelaki ini suka sekali cerita, dia berkata kepada ibunya, “Kurasa aku perlu bilang kepada Tuhan untuk memesankan satu tempat lagi buatmu, Bu.”
Ibunya adalah orang baik, maka didoakannya supaya mendapat tempat tertinggi di langit, bukan untuk dirinya, tapi untuk anaknya. Dan lelaki ini tahu bahwa ibunya mendoakan supaya yang mendapat tempat adalah dirinya, bukan ibunya. Ibunya tidak perlu meminta kepada Tuhan karena sudah pasti dipesankan satu tempat khusus untuknya. Sebab ibunya begitu sabar menahan sakit akibat gigitan ulat-ulat yang bersarang di dadanya.
Lelaki ini kemudian berdoa supaya Tuhan segera menjemput ibunya agar segera pindah ke langit. Dan Tuhan mengabulkan doanya. Beberapa hari kemudian ibunya mati dimakan ulat-ulat, ketika dia berada di semak-semak mengumpulkan ranting untuk dijual menjadi kayu api, supaya lelaki ini bisa makan tiap hari.
Dulu dia percaya Tuhan karena mengabulkan doanya. Sekarang dia percaya lagi kepadaNya, agar mengabulkan satu doanya yang lain. Supaya memesankan satu tempat lagi di langit. Dan dia dengan berbesar hati bersedia mempersilahkan seorang lain untuk menempati tempatnya itu.
“Aku harap kekasihku bersedia menerima tawaranku. Sudah lama aku mendoakannya supaya dia menjadi orang baik seperti ibu, tapi sayang, kelakuannya tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Hanya wujudnya yang telah berubah, menjadi kupu-kupu. Mungkin Tuhan pun juga sudah lelah mendengar doaku, maka kuputuskan untuk mempercepat terkabulnya doa itu.”
Satu malam, ketika kekasihnya sedang tidur, tidak pulang pagi seperti biasanya, lelaki ini sendiri pun heran mengapa bisa terjadi demikian, terbersit pikiran untuk menggunakan kesempatan itu. Mengembalikan wujudnya menjadi yang dulu, ketika dia masih berupa ulat yang bergantung kepadanya, menggelayuti tubuhnya, dan tidak memedulikan rantingnya yang malu-malu seperti daun putri malu.
Dia ingat siangnya membeli sebuah pisau baru, untuk masak rencananya. Tapi, dia hendak mengajak pisau itu untuk berkompromi. Sambil mengendap-ngendap dari tempat tidur ke dapur, seperti maling padahal di rumah sendiri, ditemuinya pisau itu.
“Hei pisau, aku akan menjadikanmu seorang nabi.”
“Benarkah? Beruntung sekali hidupku, apa yang harus aku lakukan?”
“Kau hanya perlu membawa kebajikan kepada salah satu umatmu yang tersesat. Tunjukkan dia jalan yang terang. Aku akan membantumu.”
Pisau itu kemudian berjalan menyusuri bukit dan gunung sambil membawa risalah Tuhan. Ketika dilihatnya umatnya yang tersesat, dia sudah tidak sabar untuk segera bertindak.
“Tenang, kau hanya perlu mengikuti perintahku.”
Sayap kekasihnya diposisikan sedemikian rupa, sehingga sekali iris bisa langsung putus. Dia tentu tidak mengharapkan kekasihnya berubah menjadi seekor domba menggantikan tempatnya, sebab tidak ada alasan untuk itu. Irisan pertama dilakukan dan kekasihnya terbangun. Tersentak. Menjerit.
“Apa yang kau lakukan dengan sayapku!”
“Aku hendak memotongnya, sudah satu sayap, tinggal satu lagi.”
“Kau gila!”
“Aku memang gila padamu.”
“Menjauh atau aku teriak!”
“Kembalilah ke jalan yang terang!” pisau itu ikut serta.
Tepat sebelum kekasihnya berteriak, didekap mulutnya. Dia melawan. Kepalan tangannya yang bebas sempat memukul wajah lelaki ini, tepat di mulutnya. Dia rasa ada gigi yang tanggal. Darah mengalir dari bibirnya, seakan rembesan air dari puncak goa yang kelam. Mereka bergumul di dalamnya.
Saat kekasihnya kehabisan tenaga, kesempatan itu tidak disia-siakan lelaki ini dan nabinya. Sepotong sayap jatuh lagi ke lantai. Kekasihnya menjerit panjang, lalu tertidur. Pulas. Lelaki ini mengira kekasihnya sedang menjalani fase metamorfosis kebalikan menjadi ulat, maka dia segera beranjak mencari bungkus kepompongnya. Pisaunya sendiri dibebaskan dari tugasnya yang berat sebagai nabi. “Sekarang kau kuangkat ke langit atas jasamu.” Lalu pisau itu terbang melalui jendela.
Selesai membungkusnya, lelaki ini berbaring. Dia mengaku sudah lama tidak bisa berbaring begitu rileks seperti saat itu.
“Dan kau tahu, betapa terkejutnya aku, saat bangun dia masuk ke kamar dengan kedua sayap kupu-kupunya masih ada, tanpa luka irisan segores pun. Juga dari mulutnya tercium aroma getah.”
“Kau masih menjadi kupu-kupu, kekasihku.”
“Bukan urusanmu, sayang.”
Selebihnya lelaki ini lebih banyak diam. Meninggalkanku dengan kenangan dan banyak tanya. Siapa lelaki ini, apa yang sebenarnya terjadi dengan kekasihnya, dan mengapa aku mendengarkan ceritanya sampai habis pun aku tidak punya jawaban. Yang kutahu, mungkin ketika aku menceritakan cerita ini kepadamu, sekarang dia sedang melakukan perjalanan panjang ke barat, ke negeri orang-orang mati.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar