Sampai sekarang aku
selalu terpikat bila melihat serangga kelap-kelip bernama kunang-kunang, yang
pertama kali diperkenalkan oleh ibu pada satu malam. Masih kuingat dengan jelas
saat itu. Aku berada di pangkuannya. Duduk di bangku taman. Dan sejauh mata
memandang dalam gelap malam, sejauh itu juga kutemukan hamparan kunang-kunang.
Seperti lampu jalanan kendaraan dari atas gedung bertingkat, ketika ibu
mengajakku ke tempat kerjanya.
Aku bertanya pada Ibu,
dari mana asal kunang-kunang. Mereka begitu banyak muncul di taman. Taman dekat
kuburan itu. Saking banyak aku ingin menangkapnya. Tapi apa jawab Ibu. “Kamu
jangan menangkapnya. Kamu belum tahu kan, kunang-kunang itu berasal dari kuku
orang-orang yang sudah mati?”
Pertama kali mendengar
bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang-orang yang sudah mati, aku
merinding. Ngeri. Membayangkan kunang-kunang cantik yang kami lihat saat itu
adalah manusia yang dulu hidup. Pernah hidup. Tapi lama kelamaan, merinding itu
hilang. Digantikan rasa ingin. Ingin menangkapnya. Memasukkannya ke dalam botol
kosong. Kupandangi di dalam kamar dengan lampu dimatikan sampai aku tertidur.
Dan bermimpi, kunang-kunang itu menjelma roh-roh manusia yang entah kenapa
ingin mengajakku bermain. Aku senang punya banyak teman. Meski mereka roh-roh
takkasat mata.
“Kita semua akan
menjadi kunang-kunang yang muncul dan tenggelam di balik gelap malam. Entah itu
muncul dari balik pikiran teman-temanmu, orang terdekatmu, atau dari balik
semak-semak itu. Tapi kamu jangan muncul dari balik semak-semak.”
Aku bertanya kepadanya.
Apa salahnya muncul dari balik semak-semak. Toh, sama-sama bercahaya
kelap-kelip. Sama-sama menawan orang-orang yang melihatnya.
“Itu tandanya, kamu
tidak diingat siapa-siapa.”
Aku tidak peduli.
Tapi Ibu peduli. Dia
mengajakku ke tempat ramai sehabis itu. Melihat kunang-kunang lain.
Kunang-kunang buatan manusia yang hidup juga di lingkungan buatan manusia. Kami
menyusuri mall-mall, jalanan yang
padat merayap, bunyi klakson kendaraan di mana-mana, asap knalpot menusuk
hidung. Kami menjadi bagian darinya. Bagian dari kunang-kunang lain itu.
Tiba-tiba aku ingin
lari ke sana kembali. Ke taman itu. Memandang roh-roh manusia di dalam
keheningan malam.
Aku ingin kembali, tapi
Ibu menolak. Dia harus bekerja ke gedung bertingkat itu lagi. Aku dititipkan ke
rumah Bibi sampai Ibu menjemputku keesokan pagi. Menunggu Ibu menjemputku
adalah satu waktu yang panjang. Waktu yang membuat rasa inginku untuk menangkap
kunang-kunang, dan memasukkannya ke dalam botol kosong semakin besar.
Keinginanku memang
kesampaian. Ibu meninggal beberapa hari sesudahnya. Terjun dari atas gedung
tempatnya bekerja. Mendengar apa yang terjadi pada Ibu dari Bibi, aku tidak
lantas menemui mayatnya. Aku pergi ke taman itu. Kutunggu sampai malam tiba.
Dan tahukah kalian, aku melihat kunang-kunang yang semakin banyak jumlahnya.
Kutangkap satu-satu, sampai berjumlah dua puluh, sebab kuku Ibu ada dua puluh.
Aku menangkapnya agar Ibu masih bisa kulihat setiap hari.
Sayangnya, Ibu meninggalkanku.
Benar-benar meninggalkanku. Satu persatu kunang-kunang Ibu kehilangan
cahayanya. Jatuh tak berdaya di dasar botol kaca. Sampai tinggal satu, dan aku
taktahu harus berbuat apa. Ibu tidak bercerita bagaimana menjaga kunang-kunang
itu agar tetap hidup.
Ah, lupakan, mungkin
Ibu memang ingin pergi ke Surga.
Aku lantas mengikuti
jejaknya. Belajar giat sampai aku bisa bekerja di kantor seperti Ibu. Di gedung
bertingkat itu. Berangkat pagi dan pulang pagi lagi. Agar bisa menjadi
kunang-kunang. Agar bisa masuk Surga.
Tapi sayangnya tidak
semudah itu. Ibu tidak bercerita bahwa banyak manusia di gedung bertingkat itu
yang ingin menjadi kunang-kunang. Yang ingin masuk Surga. Untuk bisa seperti
kunang-kunang, mereka bersaing untuk menjadi yang pertama. Persaingan yang aku
rasakan juga ketika aku belum menginjakkan kakiku di gedung bertingkat itu.
Tentang hal tersebut,
Ibu juga tidak bercerita. Yang Ibu ceritakan hanyalah kunang-kunang berasal
dari kuku orang-orang yang sudah mati.
Oh iya, sudah sampai mana
tadi. Maaf, kunang-kunang di depan mataku ini benar-benar membuatku melamun.
Sayangnya, kalian tidak bisa melihatnya. Bayangkan saja. Sebuah taman. Malam
hari. Hanya ada satu dua lampu taman. Sinarnya pun temaram. Dan kelap-kelip
kunang-kunang di balik semak-semak, rerumputan, di mana pun sepanjang taman.
Ah sudah ke mana-mana
lagi. Tentang gedung bertingkat itu. Iya, Ibu tidak pernah bercerita bahwa ada
orang-orang seperti mereka yang juga berada di sana.
Aku tidak tahu, apa
salahku di sana, yang kutahu, aku hanya mengikuti jejak Ibu. Berdandan seperti
Ibu, sampai untuk pertama kalinya aku memakai kacamata dan lipstik merah
merona. Bedak yang sekarang tidak lupa aku pakai setiap hari. Baju, rok, dan
tas pun juga peninggalan dari Ibu. Hanya sepatunya yang aku beli sendiri.
Sepatu Ibu tidak muat.
Setelah semua itu,
bekerja sampai lupa waktu. Pekerjaan-pekerjaan pun kubawa lembur kalau perlu.
Memang sih, seringnya begitu. Ibu
sudah mencontohkannya. Sampai Pak Bos, kami memanggil orang itu dengan sebutan
Pak Bos, entah kenapa, apa karena gaya berjalannya yang seperti Bos, atau
karena memang dia pemimpin di kantor itu, sering memuji-mujiku atas hasil
pekerjaan yang kuselesaikan. Sambil sesekali mengedipkan matanya kepadaku dan
bibirnya menyunggingkan senyum dari balik kumisnya yang lebat itu. Tidak
masalah, selama aku bisa terus seperti Ibu.
Tapi, apa yang mereka
lakukan kepadaku? Mereka, yang menggebu-gebu itu. Mereka justru menjauhiku. Menjadikanku bahan omongan di
kantin-kantin saat jam istirahat, atau selepas istirahat sore hendak pulang.
Bahkan saat jam lembur pun aku menjadi buah bibir mereka yang takpernah pahit
terasa. Selalu manis untuk dibicarakan.
Aku sering bingung,
dengan tingkah-polah mereka. Aku sudah berusaha, bukan menjadi kawan, dan lawan
bagi mereka. Aku hanya ingin bekerja. Aku tidak mau, hubungan kawan dan lawan
menjadi ikatan emosional, yang mengganggu kinerjaku!
Hah. Lebih baik aku
tidak peduli. Bahkan seharusnya terbiasa dengan mereka sejak sebelum aku
menginjakkan kaki di gedung bertingkat itu. Dari sekolah dasar hingga perguruan
tinggi. Sebab dari sanalah mereka berasal. Sebab dari guru dan dosen di
sanalah, sifat menggebu-gebu mereka bermunculan. Karena adanya perlombaan yang
diciptakan guru dan dosen. Perlombaan yang aku kira, untuk menjadi
kunang-kunang. Untuk menjadi yang paling bersinar.
Hasilnya adalah larva
kunang-kunang menyerupai cacing pipih, dengan rahang kuat yang memangsa
serangga-serangga kecil lain. Juga yang akan menjadi kunang-kunang. Larva-larva
itu memiliki nama yang berbeda bergantung di mana dia berada. Adalah lelaki itu,
seorang yang kukenal di sekolah dasar, yang entah kenapa setiap kali melihat
mereka, larva-larva itu, namanyalah yang teringat.
Seperti cacing
kelaparan, dia melakukan segala cara untuk menjadi yang terdepan.
Mengalahkanku. Tentu. Aku juga ingin menjadi kunang-kunang seperti Ibu. Caranya
yang melakukan apa saja itu yang aku tidak suka. Dia menyontek pada waktu
ujian. Sering bertanya bila guru atau dosen mengajar. Memang bagus, tapi
pertanyaan yang sepele dan bisa dijawab sendiri. Seakan ingin mencari muka. Aku
muak melihatnya.
Apalagi pandangannya
kepadaku, yang selalu menguntit nilai peringkatnya di posisi ke dua, bahkan
beberapa kali dia yang menguntitku, begitu tajam, sinis sekali. Seperti seekor
kucing, yang mengawasi kucing lainnya dari ikan asin buruannya.
Aku ingin menjadi
seperti Ibu, yang melakukannya dengan jujur.
Terus-terang saja, aku
mau membantunya menjadi kunang-kunang. Dengan cara yang paling mudah. Hanya dia
tidak menyadarinya bahwa aku bisa melakukannya.
Kasihan sebenarnya,
melihat dia yang melakukan segala macam cara, benar-benar segala macam.
Ditambah, sosok dia sudah menjelma di mana-mana. Ibarat hama ulat yang muncul
tanpa bisa dikendalikan, begitu juga kemunculannya di tempatku bekerja. Dia
melipatgandakan sosoknya. Menjadi pria. Menjadi wanita. Menjadi siapa saja
dengan sifat yang sama. Menggerogoti daun yang ada secepat mungkin.
Menyingkirkan ulat lain bila perlu. Agar punya banyak persediaan ketika menjadi
kepompong dan menjadi kupu-kupu yang keluar pertama.
Bedanya, mereka
menggebu-gebu ingin menjadi kunang-kunang.
Dia melakukannya dengan
berbagai macam cara. Tapi, tahukah dia, hanya dengan satu cara saja aku mampu
membuat dia menjadi kunang-kunang?
Daripada dia tidak
menjadi kunang-kunang juga, maka kulakukan sendiri, pada satu malam yang sepi.
Sendiri-sendiri.
Aku menguntitnya.
Menanyakan apakah dia mau menjadi kunang-kunang. Dia jawab tidak mau. Aku
memaksa. Dia tetap jawab tidak mau. Pisau di tanganku ganti bertanya. Dia
semakin tidak mau. Malah lari menjauhiku. Aku mengejarnya. Dia lari ke lorong
gang. Aku masuk ke lorong gang. Dia lari ke kamar kosan. Aku mendobraknya. Dia
lari ke rumah. Aku menerobosnya.
Namun, dengan sedikit
usaha, aku bisa meyakinkannya. Juga meyakinkan sosok-sosok jelmaannya.
Mungkin dia, mereka,
sekarang sudah menjadi salah satu dari kunang-kunang di taman itu. Dan aku
tidak memerlukan ucapan terimakasihnya. Sungguh tidak perlu. Aku ikhlas.
Kalau boleh memilih,
aku ingin menjadi kunang-kunang bukan dengan cara Ibu. Tapi Ibu tidak memberiku
pilihan lain. Ibu tidak bercerita bagaimana menjadi kunang-kunang yang
seharusnya. Mungkin Ibu ingin menceritakannya melalui tindakan-tindakannya. Dan
itu, pilihan yang aku jalani sekarang.
Tapi, tindakan yang
kulakukan juga mesti berbeda. Biar ada bedanya antara Ibu dan aku. Cara yang
kulakukan kepada lelaki itu adalah asli caraku. Ibu tidak pernah melakukannya.
Menceritakannya pun tidak.
Aku bangga, bisa
berbeda dengan Ibu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar