Senin, 05 Januari 2015

[Cerpen] Cerita Orang-Orang yang Menjadi Kunang-Kunang


Sampai sekarang aku selalu terpikat bila melihat serangga kelap-kelip bernama kunang-kunang, yang pertama kali diperkenalkan oleh ibu pada satu malam. Masih kuingat dengan jelas saat itu. Aku berada di pangkuannya. Duduk di bangku taman. Dan sejauh mata memandang dalam gelap malam, sejauh itu juga kutemukan hamparan kunang-kunang. Seperti lampu jalanan kendaraan dari atas gedung bertingkat, ketika ibu mengajakku ke tempat kerjanya.
Aku bertanya pada Ibu, dari mana asal kunang-kunang. Mereka begitu banyak muncul di taman. Taman dekat kuburan itu. Saking banyak aku ingin menangkapnya. Tapi apa jawab Ibu. “Kamu jangan menangkapnya. Kamu belum tahu kan, kunang-kunang itu berasal dari kuku orang-orang yang sudah mati?”
Pertama kali mendengar bahwa kunang-kunang berasal dari kuku orang-orang yang sudah mati, aku merinding. Ngeri. Membayangkan kunang-kunang cantik yang kami lihat saat itu adalah manusia yang dulu hidup. Pernah hidup. Tapi lama kelamaan, merinding itu hilang. Digantikan rasa ingin. Ingin menangkapnya. Memasukkannya ke dalam botol kosong. Kupandangi di dalam kamar dengan lampu dimatikan sampai aku tertidur. Dan bermimpi, kunang-kunang itu menjelma roh-roh manusia yang entah kenapa ingin mengajakku bermain. Aku senang punya banyak teman. Meski mereka roh-roh takkasat mata.
“Kita semua akan menjadi kunang-kunang yang muncul dan tenggelam di balik gelap malam. Entah itu muncul dari balik pikiran teman-temanmu, orang terdekatmu, atau dari balik semak-semak itu. Tapi kamu jangan muncul dari balik semak-semak.”
Aku bertanya kepadanya. Apa salahnya muncul dari balik semak-semak. Toh, sama-sama bercahaya kelap-kelip. Sama-sama menawan orang-orang yang melihatnya.
“Itu tandanya, kamu tidak diingat siapa-siapa.”
Aku tidak peduli.
Tapi Ibu peduli. Dia mengajakku ke tempat ramai sehabis itu. Melihat kunang-kunang lain. Kunang-kunang buatan manusia yang hidup juga di lingkungan buatan manusia. Kami menyusuri mall-mall, jalanan yang padat merayap, bunyi klakson kendaraan di mana-mana, asap knalpot menusuk hidung. Kami menjadi bagian darinya. Bagian dari kunang-kunang lain itu.
Tiba-tiba aku ingin lari ke sana kembali. Ke taman itu. Memandang roh-roh manusia di dalam keheningan malam.
Aku ingin kembali, tapi Ibu menolak. Dia harus bekerja ke gedung bertingkat itu lagi. Aku dititipkan ke rumah Bibi sampai Ibu menjemputku keesokan pagi. Menunggu Ibu menjemputku adalah satu waktu yang panjang. Waktu yang membuat rasa inginku untuk menangkap kunang-kunang, dan memasukkannya ke dalam botol kosong semakin besar.
Keinginanku memang kesampaian. Ibu meninggal beberapa hari sesudahnya. Terjun dari atas gedung tempatnya bekerja. Mendengar apa yang terjadi pada Ibu dari Bibi, aku tidak lantas menemui mayatnya. Aku pergi ke taman itu. Kutunggu sampai malam tiba. Dan tahukah kalian, aku melihat kunang-kunang yang semakin banyak jumlahnya. Kutangkap satu-satu, sampai berjumlah dua puluh, sebab kuku Ibu ada dua puluh. Aku menangkapnya agar Ibu masih bisa kulihat setiap hari.
Sayangnya, Ibu meninggalkanku. Benar-benar meninggalkanku. Satu persatu kunang-kunang Ibu kehilangan cahayanya. Jatuh tak berdaya di dasar botol kaca. Sampai tinggal satu, dan aku taktahu harus berbuat apa. Ibu tidak bercerita bagaimana menjaga kunang-kunang itu agar tetap hidup.
Ah, lupakan, mungkin Ibu memang ingin pergi ke Surga.
Aku lantas mengikuti jejaknya. Belajar giat sampai aku bisa bekerja di kantor seperti Ibu. Di gedung bertingkat itu. Berangkat pagi dan pulang pagi lagi. Agar bisa menjadi kunang-kunang. Agar bisa masuk Surga.  
Tapi sayangnya tidak semudah itu. Ibu tidak bercerita bahwa banyak manusia di gedung bertingkat itu yang ingin menjadi kunang-kunang. Yang ingin masuk Surga. Untuk bisa seperti kunang-kunang, mereka bersaing untuk menjadi yang pertama. Persaingan yang aku rasakan juga ketika aku belum menginjakkan kakiku di gedung bertingkat itu.
Tentang hal tersebut, Ibu juga tidak bercerita. Yang Ibu ceritakan hanyalah kunang-kunang berasal dari kuku orang-orang yang sudah mati.
Oh iya, sudah sampai mana tadi. Maaf, kunang-kunang di depan mataku ini benar-benar membuatku melamun. Sayangnya, kalian tidak bisa melihatnya. Bayangkan saja. Sebuah taman. Malam hari. Hanya ada satu dua lampu taman. Sinarnya pun temaram. Dan kelap-kelip kunang-kunang di balik semak-semak, rerumputan, di mana pun sepanjang taman.
Ah sudah ke mana-mana lagi. Tentang gedung bertingkat itu. Iya, Ibu tidak pernah bercerita bahwa ada orang-orang seperti mereka yang juga berada di sana.
Aku tidak tahu, apa salahku di sana, yang kutahu, aku hanya mengikuti jejak Ibu. Berdandan seperti Ibu, sampai untuk pertama kalinya aku memakai kacamata dan lipstik merah merona. Bedak yang sekarang tidak lupa aku pakai setiap hari. Baju, rok, dan tas pun juga peninggalan dari Ibu. Hanya sepatunya yang aku beli sendiri. Sepatu Ibu tidak muat.
Setelah semua itu, bekerja sampai lupa waktu. Pekerjaan-pekerjaan pun kubawa lembur kalau perlu. Memang sih, seringnya begitu. Ibu sudah mencontohkannya. Sampai Pak Bos, kami memanggil orang itu dengan sebutan Pak Bos, entah kenapa, apa karena gaya berjalannya yang seperti Bos, atau karena memang dia pemimpin di kantor itu, sering memuji-mujiku atas hasil pekerjaan yang kuselesaikan. Sambil sesekali mengedipkan matanya kepadaku dan bibirnya menyunggingkan senyum dari balik kumisnya yang lebat itu. Tidak masalah, selama aku bisa terus seperti Ibu.
Tapi, apa yang mereka lakukan kepadaku? Mereka, yang menggebu-gebu itu. Mereka justru  menjauhiku. Menjadikanku bahan omongan di kantin-kantin saat jam istirahat, atau selepas istirahat sore hendak pulang. Bahkan saat jam lembur pun aku menjadi buah bibir mereka yang takpernah pahit terasa. Selalu manis untuk dibicarakan.
Aku sering bingung, dengan tingkah-polah mereka. Aku sudah berusaha, bukan menjadi kawan, dan lawan bagi mereka. Aku hanya ingin bekerja. Aku tidak mau, hubungan kawan dan lawan menjadi ikatan emosional, yang mengganggu kinerjaku!
Hah. Lebih baik aku tidak peduli. Bahkan seharusnya terbiasa dengan mereka sejak sebelum aku menginjakkan kaki di gedung bertingkat itu. Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sebab dari sanalah mereka berasal. Sebab dari guru dan dosen di sanalah, sifat menggebu-gebu mereka bermunculan. Karena adanya perlombaan yang diciptakan guru dan dosen. Perlombaan yang aku kira, untuk menjadi kunang-kunang. Untuk menjadi yang paling bersinar.
Hasilnya adalah larva kunang-kunang menyerupai cacing pipih, dengan rahang kuat yang memangsa serangga-serangga kecil lain. Juga yang akan menjadi kunang-kunang. Larva-larva itu memiliki nama yang berbeda bergantung di mana dia berada. Adalah lelaki itu, seorang yang kukenal di sekolah dasar, yang entah kenapa setiap kali melihat mereka, larva-larva itu, namanyalah yang teringat.
Seperti cacing kelaparan, dia melakukan segala cara untuk menjadi yang terdepan. Mengalahkanku. Tentu. Aku juga ingin menjadi kunang-kunang seperti Ibu. Caranya yang melakukan apa saja itu yang aku tidak suka. Dia menyontek pada waktu ujian. Sering bertanya bila guru atau dosen mengajar. Memang bagus, tapi pertanyaan yang sepele dan bisa dijawab sendiri. Seakan ingin mencari muka. Aku muak melihatnya.
Apalagi pandangannya kepadaku, yang selalu menguntit nilai peringkatnya di posisi ke dua, bahkan beberapa kali dia yang menguntitku, begitu tajam, sinis sekali. Seperti seekor kucing, yang mengawasi kucing lainnya dari ikan asin buruannya.
Aku ingin menjadi seperti Ibu, yang melakukannya dengan jujur.
Terus-terang saja, aku mau membantunya menjadi kunang-kunang. Dengan cara yang paling mudah. Hanya dia tidak menyadarinya bahwa aku bisa melakukannya.
Kasihan sebenarnya, melihat dia yang melakukan segala macam cara, benar-benar segala macam. Ditambah, sosok dia sudah menjelma di mana-mana. Ibarat hama ulat yang muncul tanpa bisa dikendalikan, begitu juga kemunculannya di tempatku bekerja. Dia melipatgandakan sosoknya. Menjadi pria. Menjadi wanita. Menjadi siapa saja dengan sifat yang sama. Menggerogoti daun yang ada secepat mungkin. Menyingkirkan ulat lain bila perlu. Agar punya banyak persediaan ketika menjadi kepompong dan menjadi kupu-kupu yang keluar pertama.
Bedanya, mereka menggebu-gebu ingin menjadi kunang-kunang.
Dia melakukannya dengan berbagai macam cara. Tapi, tahukah dia, hanya dengan satu cara saja aku mampu membuat dia menjadi kunang-kunang?
Daripada dia tidak menjadi kunang-kunang juga, maka kulakukan sendiri, pada satu malam yang sepi. Sendiri-sendiri.
Aku menguntitnya. Menanyakan apakah dia mau menjadi kunang-kunang. Dia jawab tidak mau. Aku memaksa. Dia tetap jawab tidak mau. Pisau di tanganku ganti bertanya. Dia semakin tidak mau. Malah lari menjauhiku. Aku mengejarnya. Dia lari ke lorong gang. Aku masuk ke lorong gang. Dia lari ke kamar kosan. Aku mendobraknya. Dia lari ke rumah. Aku menerobosnya.
Namun, dengan sedikit usaha, aku bisa meyakinkannya. Juga meyakinkan sosok-sosok jelmaannya.
Mungkin dia, mereka, sekarang sudah menjadi salah satu dari kunang-kunang di taman itu. Dan aku tidak memerlukan ucapan terimakasihnya. Sungguh tidak perlu. Aku ikhlas.
Kalau boleh memilih, aku ingin menjadi kunang-kunang bukan dengan cara Ibu. Tapi Ibu tidak memberiku pilihan lain. Ibu tidak bercerita bagaimana menjadi kunang-kunang yang seharusnya. Mungkin Ibu ingin menceritakannya melalui tindakan-tindakannya. Dan itu, pilihan yang aku jalani sekarang.
Tapi, tindakan yang kulakukan juga mesti berbeda. Biar ada bedanya antara Ibu dan aku. Cara yang kulakukan kepada lelaki itu adalah asli caraku. Ibu tidak pernah melakukannya. Menceritakannya pun tidak.
Aku bangga, bisa berbeda dengan Ibu.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar