Selasa, 25 Juli 2017

Kahlil Gibran: Cerita Tentang Sayap-Sayap Patah dan Kisah Cinta yang Sederhana

Sempat aku berpikir sudah berapa lama kau hadir di dalam pikiranku. Masih terasa seperti kemarin ketika aku bertemu denganmu dalam bentukmu yang sederhana. Pertemuan yang mengesankan, memang, karena sampai detik ini aku masih berusaha menjalin perasaan ini ke dirimu yang entah berada di dimensi apa. Omong-omong tentang pertemuan dan perasaan, atau cinta, aku menemukan sebuah cerita yang akan mengingatkanmu akan cerita-cerita romansa orang-orang terdahulu, seperti Romeo dan Juliet atau Layla Majnun kesukaanmu. Beruntung aku menemukan cerita Sayap-Sayap Patah, judul novel karangan Kahlil Gibran; tentu tak asing namanya bagimu, kau menyukai cerita Sang Nabi sampai kita pernah memperagakan diri menjadi Sang Nabi di hadapan masing-masing, berbicara petuah dan nasihat seakan kita domba-domba yang tersesat.
Aku menyukai cerita ini, jujur saja, meski ceritanya terbilang sederhana. Seorang laki-laki bernama Gibran; nama ini pasti akan membuatmu berpikir bahwa tokoh ini merupakan si pengarang sendiri, tapi perlu kau garisbawahi bahwa bagaimanapun juga tokoh Gibran ini adalah tokoh fiksi. Seandainya bisa memutar waktu dan bertemu dengannya di suatu padang pasir, aku mungkin akan bertanya kepadanya apakah ini adalah cerita pengalaman pribadinya atau bukan, yang mana bertemu dengan seorang gadis cantik jelita bernama Selma Karamy yang berumur dua tahun lebih tua darinya; Gibran berumur delapan belas tahun saat itu, dan jatuh cinta pada pandangan pertamanya. Sesederhana itu sampai takdir memisahkan mereka berdua. Mungkin perlu aku berterimakasih kepada Uskup dan kemenakannya yang akhirnya menikahi Selma karena tanpa mereka berdua cerita ini tidak akan ada konflik, dan cerita cinta yang tidak memiliki konflik akan sangat membosankan untuk dibaca.
Bagaimana mereka bisa dipisahkan, kau mungkin bertanya begitu. Uskup di dalam cerita ini menggunakan kekuasaannya terlalu banyak sampai dia berlaku sewenang-wenang pada akhirnya. Kekuasaan yang terlampau banyak, apalagi di bidang yang menyangkut kepercayaan religius seperti ini, kecuali kau seorang nabi dan orang-orang saleh, memang selalu akan membawa dampak buruk. Uskup mengawinkan kemenakannya, seorang pria dengan sifat buruk bernama Mansour Bey Ghalib, yang sama sekali tidak dicintai Selma demi harta keluarganya sebab ayah Selma, Faris Effendi Karamy sudah tidak lagi muda dan kesehatannya tidak sebaik dulu, dan kesempatan ini tentu tidak dilewatkan begitu saja bagi mereka yang tamak.
Singkat cerita mereka menikah dengan tidak bahagia. Gibran yang masih pertama kali mengenal cinta merasakan betapa menyakitkannya cinta itu. Beruntung bagi dia, masih ada kesempatan untuk mengobati rasa sakit itu setiap sebulan sekali, sebab itu pertemuan yang akhirnya direncanakan dia dan Selma untuk melakukan pertemuan tersebut tiap-tiap bulan berikutnya tanpa sepengetahuan orang lain tentunya. Hubungan gelap ini berlangsung terus sampai akhirnya Selma merasa tidak bisa lagi bertahan dan memilih mengorbankan dirinya agar Gibran tidak berada dalam bahaya akibat pertemuan-pertemuan rahasia mereka. Uskup telah menaruh curiga padanya dan menyuruh pesuruh-pesuruhnya menjadi mata dan telinga di jalan-jalan yang dilalui Selma.
Lantas bagaimana mengakhiri sebuah kisah cinta yang sederhana, adalah dengan menaruh kematian yang dramatis di ujung cerita. Selma meninggal saat melahirkan anak pertamanya dan kepergiannya ini semakin meninggalkan luka mendalam di hati Gibran; seorang laki-laki terakhir yang tetap tinggal di kuburannya untuk meratapi kesedihannya.
Selain kisah cinta yang sederhana ini, aku suka permainan bahasa yang digunakan pengarang untuk mengisahkan kisahnya. Kepiawaiannya dalam mengolah metafora untuk mendeskripsikan cinta yang absurd sampai aku sebagai pembaca mengerti seberapa dalam perasaan itu tumbuh di dalam hati kedua tokoh tersebut membuatku betah membacanya sampai ke akhir cerita; meski tidak bisa aku pungkiri, terkadang rasa lelah datang tiba-tiba membaca metafora yang begitu berlimpah. Rasanya mungkin seperti aku merayumu terus-menerus tanpa jeda, tentu kau akan bosan mendengarnya. Mungkin perlu dimaklumi ini menjadi kekurangan dari teknik berkisah pengarang pada novel ini, selain karena ini buku pertama sebelum dua buku selanjutnya, yaitu Sang Nabi dan Yesus Anak Manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar