Rabu, 29 Oktober 2014

Arswendo Atmowiloto, Dua Ibu, dan Apa yang Sudah Kita Lakukan Untuknya, Lita?

Judul Buku                     : Dua Ibu
Pengarang                     : Arswendo Atmowiloto
Penerbit                         : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan, Tahun Terbit  : Ketiga, Juni 2014
Jenis Buku                    : Novel
Tebal                            : 300 halaman
ISBN                             : 978-602-03-0602-5


Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia


Pernahkah kamu mendengar atau menyenandungkan lirik lagu tersebut, Lita? Pasti pernah. Aku menyenandungkannya tadi dan jadi rindu sekali pada malaikat itu. Dan kamu tahu, apa yang menyebabkanku mengharu biru seperti ini? Gara-gara sebuah buku. Sebuah novel tepatnya yang aku beli beberapa hari yang lalu. Berjudul Dua Ibu. Aku mesti berterimakasih pada Arswendo Atmowiloto telah menulis dan menggambarkan sosok malaikat tersebut dengan begitu menyentuh hatiku. Sebagai seorang pembaca dan seorang yang mempunyai Ibu.
Maaf, aku jadi terbawa suasana.
Dari judulnya kamu pasti bisa menebak, apa kira-kira inti ceritanya. Benar, ada dua. Tentang anak-anak yang memiliki dua ibu. Dan tentang Ibu itu sendiri. Seorang Ibu yang begitu perkasa, yang kuat, yang tabah, yang sabar, yang tidak sanggup kukatakan kata-kata apa lagi yang bisa menyamai dirinya. Seorang Ibu yang mengasuh sembilan anaknya tanpa pernah mengeluh, meski keadaan ekonomi keluarga berada jauh di bawah garis kemiskinan. Dan, apa yang membuatku tidak sanggup mendeskripsikan sosok ini adalah, anak-anak yang diasuhnya itu bukanlah anak kandungnya. Hanya satu anak kandungnya. Lainnya dia terima dari orang-orang yang tidak sanggup merawatnya. Ditambah, dia rela, benar-benar merelakan kebutuhannya sendiri diserahkan kepada anak-anaknya, agar mereka semua bahagia.
Kebahagiaannya adalah ketika melihat mereka bahagia.
Kehidupan mereka Lita, diceritakan ke dalam beberapa bab, masing-masing bab menceritakan anak-anak dan konflik yang mendera mereka. Dimulai dari anaknya yang pertama kali menikah; Solemah, lalu Mujanah, Jamil yang merupakan anak kandung satu-satunya, Ratsih, Herit, Adam, Priyadi, Prihatin, dan Mamid. Pembagian cerita seperti ini membuatku teringat kisah lain yang ditulis Arswendo dengan gaya serupa, seperti Keluarga Cemara dan Canting. Juga Para Priyayi nya Umar Kayam. Kamu pasti pernah membacanya.
Pada bagian pertama, Solemah diceritakan sebagai anak yang tertua, sedang mempersiapkan diri menuju pernikahan dirinya dengan Mas Anton, seorang angkatan laut. Acara yang diselenggarakan memang tergololong mewah melihat kondisi ekonomi keluarga Ibu. Dan tahukah kamu, Ibu rela menggadai barang-barang di rumahnya agar acara pernikahan Solemah bisa terlaksana?
Kemudian beralih kepada Mujanah. Anak tertua kedua setelah Solemah. Masih sama hal yang dihadapi. Tentang pernikahan dirinya dengan seorang lelaki bernama Mas Agus, seorang pedagang yang kelak memiliki sifat keras dan perhitungan, bahkan ke keluarga Ibu sendiri. Hal itu terlihat Lita, ketika rumah Ibu digadai dan dia melakukan hitung-hitungan yang berujung pada komisi yang dia dapatkan dari hasil gadai rumah Ibu tersebut. Sedangkan, Ibu sendiri tidak mendapatkanya dan pergi dari sana menuju ke sebuah rumah kecil di dekat kuburan. Bersama Adam nantinya. Mujanah sendiri juga memiliki temperamen yang keras seperti Mas Agus. Hanya saja, dia berubah di akhir cerita, setelah mendapat nasihat untuk mengikuti suaminya ke mana pun dan apapun yang dilakukannya. Ikhlas. Seperti yang dilakukan Ibu selama itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin Ibu mampu mengasuh dan merawat kesembilan anaknya di saat kondisi ekonomi justru tidak memungkinkan?
Jamil adalah salah satu bagian yang menarik di dalam cerita. Seorang anak laki-laki yang punya tekad kuat untuk mandiri. Dibuktikan dengan keberaniannya pergi dari rumah, mengejar cita-citanya menjadi angkatan laut. Tekad kuat itu kemudian diuji, Lita, dengan tidak sesuainya kenyataan dengan harapan. Di Jakarta, dia tidak sadar, bahwa dia bekerja sebagai penyelundup di sebuah kapal. Lalu tertangkap petugas Singapura, dimasukkan ke penjara, dibebaskan oleh seorang yang kemudian mengadunya satu sama lain sebagai seorang petinju di meja taruhan, dipenjara lagi, dan dibebaskan lagi oleh seorang yang mengaku sebagai bapak kandungnya. Sampai akhirnya dia bisa bertahan hidup dengan caranya sendiri. Lepas dari Ibu. Jamil sendiri, yang aku lihat, adalah cerminan tekad kuat seorang Ibu, yang tidak akan menyerah dalam menjalani kehidupannya. Hingga aku berkesimpulan, aku kagum pada sosoknya, Lita.
Ratsih memiliki cerita lain. Seorang anak yang masih duduk di bangku SMP dan memutuskan untuk menerima lamaran Mas Untung, seorang angkatan laut yang umurnya dua kali darinya. Konflik batin ketika dia menjalani peran sebagai seorang Ibu di usia belia mewarnai cerita-ceritanya. Pengalamannya itu diberitakan kepada Ibu dan ditulisnya melalui surat. Keluguan dan kemauan untuk mau seperti Ibu adalah hal yang begitu kuat pada sosok Ratsih. Dan di akhir cerita, Ratsih dan Mas Untung adalah sedikit dari anak-anak Ibu yang hidup bahagia di keluarganya.
Herit juga merupakan satu sosok yang menarik di antara sembilan anak-anak Ibu. Dia adalah sosok paling pemberontak di dalam keluarga, mengalahkan Jamil. Apa yang dipikirkannya tidak disaring-saring kembali kalau mau diucapkan, sehingga terkadang (dan seringnya) menyakiti hati orang-orang yang mendengarnya. Juga dalam bentuk tindakannya yang bisa kabur dari rumah begitu saja bila ada hal yang tidak sesuai dengan pikirannya. Seperti yang terjadi ketika Herit ikut ke Surabaya bersama Ratsih dan Solemah, dia kabur ke sebuah warung ketika pada satu saat dia pulang malam tanpa memberitahu sebelumnya, hingga dia dimarahi habis-habisan. Namun, di balik sifatnya yang keras, pemberontak, dan ceplas-ceplos itu, ada kelembutan hati seorang perempuan, seorang Ibu, yang bisa meluluhkan hati Jon, anak Solemah yang begitu rewel dan keras kepala juga, sehingga mau disuapi, mau diajak tenang, dsb. Dia juga tidak tega melihat anak-anak Ibu tercerai berai semenjak Ibu meninggal. Atas idenya, mereka bisa rutin berkumpul sebagai bentuk penghormatan kepada mendiang Ibu.
Tidak banyak yang diceritakan mengenai tiga anak lain, yaitu Adam, Priyadi, dan Prihatin. Adam seorang anak yang pendiam. Priyadi dan Prihatin, keduanya sama-sama ringkih, mudah sakit. Dan mereka bertiga ini sebenarnya bersaudara kandung. Hanya saja nanti ketika bapak kandungnya ingin mengambil mereka lagi, Adam menolak dan memutuskan untuk ikut dengan Ibu. Adam jugalah yang menunggui Ibu ketika sakit sampai meninggal.
Anak terakhir adalah sosok yang paling menyita perhatian cerita. Mamid. Dari semuanya, Mamid lah yang sebenarnya paling beruntung memiliki orangtua kandung yang apapun akan dibelikan, serba berkecukupan, bahkan berlebih. Tante Mirah dan Oom Bong adalah keluarga muda yang mendapatkan itu semua dari nol. Dari bawah. Namun, apa yang dilihat oleh orang lain sebagai keluarga muda yang bahagia ternyata tidak seperti itu kenyataannya. Tante Mirah dan Oom Bong sering bertengkar, masalah kepercayaan, yang satu menduga dia masih menjalin hubungan dengan teman sekantor, yang satu menduga dia masih menjalin hubungan dengan masa lalunya. Pertengkaran yang terjadi itu hampir sering membuat Mamid, Marga, dan Mamine (mereka berdua anak kandung lain selain Mamid) tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi ke kamar atau jalan-jalan ke luar.
Puncaknya ketika Tante Mirah memutuskan berpisah dan Oom Bong ditangkap polisi karena diduga agen CIA alias antek Amerika.
Ketika membacanya, aku terbayang, dan bersyukur memiliki Ibu. Ibu yang tidak pernah mengeluh dan dengan sabar merawatku dari kecil sampai sebesar ini. Ibu yang rela bangun tidur tengah malam untuk mengganti popokku yang basah. Ibu yang rela berpuasa ketika aku menghadapi ujian. Ibu yang rela melakukan apa saja agar aku bahagia.
Dan aku adalah seorang anak yang tidak tahu balas budi. Tanpa sekalipun aku pernah mengucapkan sekadar terima kasih kepadanya (betapa beratnya mengucapkan kata-kata itu langsung, Lita). Hingga aku melakukannya dalam bentuk tidak langsung, seperti menuruti perintah dan nasihatnya, membuatnya bangga memiliki anak sepertiku. Dan kamu pun pasti bakal berpikiran sama denganku.
Apa yang sudah kita lakukan kepada Ibu kita, Lita?
Ah, tiba-tiba aku ingin mendengar lagu Bunda-nya Melly Goeslaw. Selamat mengharu biru buat kita! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar