Judul Buku : Dua Ibu
Pengarang : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan, Tahun Terbit : Ketiga, Juni 2014
Jenis Buku : Novel
Tebal : 300 halaman
ISBN : 978-602-03-0602-5
Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Pernahkah kamu
mendengar atau menyenandungkan lirik lagu tersebut, Lita? Pasti pernah. Aku
menyenandungkannya tadi dan jadi rindu sekali pada malaikat itu. Dan kamu tahu,
apa yang menyebabkanku mengharu biru seperti ini? Gara-gara sebuah buku. Sebuah
novel tepatnya yang aku beli beberapa hari yang lalu. Berjudul Dua Ibu. Aku mesti berterimakasih pada
Arswendo Atmowiloto telah menulis dan menggambarkan sosok malaikat tersebut
dengan begitu menyentuh hatiku. Sebagai seorang pembaca dan seorang yang
mempunyai Ibu.
Maaf, aku jadi terbawa
suasana.
Dari judulnya kamu
pasti bisa menebak, apa kira-kira inti ceritanya. Benar, ada dua. Tentang
anak-anak yang memiliki dua ibu. Dan tentang Ibu itu sendiri. Seorang Ibu yang begitu
perkasa, yang kuat, yang tabah, yang sabar, yang tidak sanggup kukatakan kata-kata
apa lagi yang bisa menyamai dirinya. Seorang Ibu yang mengasuh sembilan anaknya
tanpa pernah mengeluh, meski keadaan ekonomi keluarga berada jauh di bawah garis
kemiskinan. Dan, apa yang membuatku tidak sanggup mendeskripsikan sosok ini
adalah, anak-anak yang diasuhnya itu bukanlah anak kandungnya. Hanya satu anak
kandungnya. Lainnya dia terima dari orang-orang yang tidak sanggup merawatnya. Ditambah,
dia rela, benar-benar merelakan kebutuhannya sendiri diserahkan kepada
anak-anaknya, agar mereka semua bahagia.
Kebahagiaannya adalah
ketika melihat mereka bahagia.
Kehidupan mereka Lita, diceritakan
ke dalam beberapa bab, masing-masing bab menceritakan anak-anak dan konflik
yang mendera mereka. Dimulai dari anaknya yang pertama kali menikah; Solemah,
lalu Mujanah, Jamil yang merupakan anak kandung satu-satunya, Ratsih, Herit, Adam,
Priyadi, Prihatin, dan Mamid. Pembagian cerita seperti ini membuatku teringat
kisah lain yang ditulis Arswendo dengan gaya serupa, seperti Keluarga Cemara dan Canting. Juga Para Priyayi nya Umar Kayam. Kamu pasti
pernah membacanya.
Pada bagian pertama,
Solemah diceritakan sebagai anak yang tertua, sedang mempersiapkan diri menuju
pernikahan dirinya dengan Mas Anton, seorang angkatan laut. Acara yang
diselenggarakan memang tergololong mewah melihat kondisi ekonomi keluarga Ibu.
Dan tahukah kamu, Ibu rela menggadai barang-barang di rumahnya agar acara
pernikahan Solemah bisa terlaksana?
Kemudian beralih kepada
Mujanah. Anak tertua kedua setelah Solemah. Masih sama hal yang dihadapi.
Tentang pernikahan dirinya dengan seorang lelaki bernama Mas Agus, seorang
pedagang yang kelak memiliki sifat keras dan perhitungan, bahkan ke keluarga
Ibu sendiri. Hal itu terlihat Lita, ketika rumah Ibu digadai dan dia melakukan
hitung-hitungan yang berujung pada komisi yang dia dapatkan dari hasil gadai
rumah Ibu tersebut. Sedangkan, Ibu sendiri tidak mendapatkanya dan pergi dari
sana menuju ke sebuah rumah kecil di dekat kuburan. Bersama Adam nantinya.
Mujanah sendiri juga memiliki temperamen yang keras seperti Mas Agus. Hanya
saja, dia berubah di akhir cerita, setelah mendapat nasihat untuk mengikuti
suaminya ke mana pun dan apapun yang dilakukannya. Ikhlas. Seperti yang
dilakukan Ibu selama itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin Ibu mampu mengasuh dan
merawat kesembilan anaknya di saat kondisi ekonomi justru tidak memungkinkan?
Jamil adalah salah satu
bagian yang menarik di dalam cerita. Seorang anak laki-laki yang punya tekad
kuat untuk mandiri. Dibuktikan dengan keberaniannya pergi dari rumah, mengejar
cita-citanya menjadi angkatan laut. Tekad kuat itu kemudian diuji, Lita, dengan
tidak sesuainya kenyataan dengan harapan. Di Jakarta, dia tidak sadar, bahwa dia
bekerja sebagai penyelundup di sebuah kapal. Lalu tertangkap petugas Singapura,
dimasukkan ke penjara, dibebaskan oleh seorang yang kemudian mengadunya satu
sama lain sebagai seorang petinju di meja taruhan, dipenjara lagi, dan
dibebaskan lagi oleh seorang yang mengaku sebagai bapak kandungnya. Sampai
akhirnya dia bisa bertahan hidup dengan caranya sendiri. Lepas dari Ibu. Jamil
sendiri, yang aku lihat, adalah cerminan tekad kuat seorang Ibu, yang tidak
akan menyerah dalam menjalani kehidupannya. Hingga aku berkesimpulan, aku kagum
pada sosoknya, Lita.
Ratsih memiliki cerita
lain. Seorang anak yang masih duduk di bangku SMP dan memutuskan untuk menerima
lamaran Mas Untung, seorang angkatan laut yang umurnya dua kali darinya.
Konflik batin ketika dia menjalani peran sebagai seorang Ibu di usia belia
mewarnai cerita-ceritanya. Pengalamannya itu diberitakan kepada Ibu dan
ditulisnya melalui surat. Keluguan dan kemauan untuk mau seperti Ibu adalah hal
yang begitu kuat pada sosok Ratsih. Dan di akhir cerita, Ratsih dan Mas Untung
adalah sedikit dari anak-anak Ibu yang hidup bahagia di keluarganya.
Herit juga merupakan
satu sosok yang menarik di antara sembilan anak-anak Ibu. Dia adalah sosok
paling pemberontak di dalam keluarga, mengalahkan Jamil. Apa yang dipikirkannya
tidak disaring-saring kembali kalau mau diucapkan, sehingga terkadang (dan
seringnya) menyakiti hati orang-orang yang mendengarnya. Juga dalam bentuk
tindakannya yang bisa kabur dari rumah begitu saja bila ada hal yang tidak
sesuai dengan pikirannya. Seperti yang terjadi ketika Herit ikut ke Surabaya
bersama Ratsih dan Solemah, dia kabur ke sebuah warung ketika pada satu saat
dia pulang malam tanpa memberitahu sebelumnya, hingga dia dimarahi
habis-habisan. Namun, di balik sifatnya yang keras, pemberontak, dan
ceplas-ceplos itu, ada kelembutan hati seorang perempuan, seorang Ibu, yang bisa
meluluhkan hati Jon, anak Solemah yang begitu rewel dan keras kepala juga,
sehingga mau disuapi, mau diajak tenang, dsb. Dia juga tidak tega melihat
anak-anak Ibu tercerai berai semenjak Ibu meninggal. Atas idenya, mereka bisa
rutin berkumpul sebagai bentuk penghormatan kepada mendiang Ibu.
Tidak banyak yang
diceritakan mengenai tiga anak lain, yaitu Adam, Priyadi, dan Prihatin. Adam
seorang anak yang pendiam. Priyadi dan Prihatin, keduanya sama-sama ringkih,
mudah sakit. Dan mereka bertiga ini sebenarnya bersaudara kandung. Hanya saja
nanti ketika bapak kandungnya ingin mengambil mereka lagi, Adam menolak dan
memutuskan untuk ikut dengan Ibu. Adam jugalah yang menunggui Ibu ketika sakit
sampai meninggal.
Anak terakhir adalah
sosok yang paling menyita perhatian cerita. Mamid. Dari semuanya, Mamid lah
yang sebenarnya paling beruntung memiliki orangtua kandung yang apapun akan
dibelikan, serba berkecukupan, bahkan berlebih. Tante Mirah dan Oom Bong adalah
keluarga muda yang mendapatkan itu semua dari nol. Dari bawah. Namun, apa yang
dilihat oleh orang lain sebagai keluarga muda yang bahagia ternyata tidak
seperti itu kenyataannya. Tante Mirah dan Oom Bong sering bertengkar, masalah
kepercayaan, yang satu menduga dia masih menjalin hubungan dengan teman
sekantor, yang satu menduga dia masih menjalin hubungan dengan masa lalunya.
Pertengkaran yang terjadi itu hampir sering membuat Mamid, Marga, dan Mamine
(mereka berdua anak kandung lain selain Mamid) tidak bisa berbuat apa-apa
selain pergi ke kamar atau jalan-jalan ke luar.
Puncaknya ketika Tante
Mirah memutuskan berpisah dan Oom Bong ditangkap polisi karena diduga agen CIA
alias antek Amerika.
Ketika membacanya, aku
terbayang, dan bersyukur memiliki Ibu. Ibu yang tidak pernah mengeluh dan
dengan sabar merawatku dari kecil sampai sebesar ini. Ibu yang rela bangun
tidur tengah malam untuk mengganti popokku yang basah. Ibu yang rela berpuasa
ketika aku menghadapi ujian. Ibu yang rela melakukan apa saja agar aku bahagia.
Dan aku adalah seorang
anak yang tidak tahu balas budi. Tanpa sekalipun aku pernah mengucapkan sekadar
terima kasih kepadanya (betapa beratnya mengucapkan kata-kata itu langsung,
Lita). Hingga aku melakukannya dalam bentuk tidak langsung, seperti menuruti
perintah dan nasihatnya, membuatnya bangga memiliki anak sepertiku. Dan kamu
pun pasti bakal berpikiran sama denganku.
Apa yang sudah kita
lakukan kepada Ibu kita, Lita?
Ah, tiba-tiba aku ingin
mendengar lagu Bunda-nya Melly Goeslaw. Selamat mengharu biru buat kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar