Apa yang bisa kamu
gambarkan dari Desember kali ini. Bulan di penghujung tahun yang selalu membawa
kegairahan tersendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya, dengan hujan yang
membawa nuansa puitis, ujian akhir yang dramatis, ledakan kembang api di langit
nanti, dan tidak ketinggalan, film-film yang layak ditonton bila kamu tidak
memilih pergi rekreasi ke mana-mana selain ke bioskop atau lapak DVD bajakan.
Sebut saja ada The Hunger Games The Mockingjay, The Maze Runner, Interstellar,
Doraemon The Movie: Stand by Me, The Hobbit The Battle of Five Armies, dan
Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang bisa menjadi alternatif
film-filmmu.
Dan kemarin malam,
giliran Supernova yang menambah gairahku.
Supernova sendiri
merupakan film adaptasi dari novel Dewi ‘Dee’ Lestari dengan judul yang sama.
Kamu bisa menyebutnya sebagai sebuah ekranisasi, semacam perpindahan media dari
buku ke film. Tentu bicara tentang ekranisasi, apalagi ekranisasi karya sastra
Indonesia, tidak banyak, jujur saja, yang mampu memberi ekspektasi memuaskan
kepada para penonton, baik itu yang sudah membaca karyanya ataupun penonton
umum. Dan aku bisa bilang, tanpa menganggapnya berlebihan, Supernova adalah salah
satu yang berhasil memenuhi ekspektasi itu, juga bila dibandingkan dengan
ekranisasi sejenis karya-karyanya, seperti Madre, Rectoverso, atau Perahu
Kertas.
Apa yang membuatku
begitu yakin, bisa kamu lihat sendiri nanti dari berbagai macam aspek. Ini
hanya dari pandangan umum dariku ya tentunya. Pertama tentu saja pemilihan
pemeran yang tepat, sesuai dengan deskripsi yang tercantum di novelnya. Dari
pasangan gay Dimas dan Rhuben sampai kemolekan tubuh Diva Sang Supernova. Meski
salah seorang teman agak kurang setuju dengan pemeran Diva, karena kurang nakal
dan sensual katanya. Hahaha. Tapi secara keseluruhan, tidak masalah.
Perbedaan-perbedaan kecil dalam hal pemeran tokoh aku rasa tak apa, selama
tidak mengubah alur cerita sendiri dan masih sesuai dengan deskripsinya.
Kedua tentu animasi dan
visual efek yang digunakan. Aku kasih contoh ketika Ferre menceritakan dongeng
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Animasi yang aku rasa tidak memalukan,
bahkan aku bilang itu keren. Tidak kalah dengan animasi bikinan luar.
Penggambaran tokohnya juga membawa unsur-unsur budaya dari Indonesia sendiri.
Ksatria, yang awalnya aku gambarkan berbaju zirah seperti Don Quixote ternyata
berbaju ala Gatotkaca. Begitu juga dengan Putri yang di gambaranku tampak
seperti Putri-Putri dari Walt Disney, justru mengenakan pakaian ala Putri Jawa
dengan kebayanya. Unsur-unsur budaya yang seakan menampik pikiran-pikiranku
tentang gambaran dari negeri barat yang selalu menarik, ternyata di daerah
sendiri pun jauh lebih menarik. Lagipula, animasi yang digunakan kalau kamu
melihatnya sendiri nanti, jangan kamu sandingkan dengan animasi legenda di
saluran tivi swasta yang setengah matang itu. Aku bisa melihat senyum simpulmu,
yang menandakan kamu mengerti maksudku.
Terakhir adalah alur
yang sesuai jalan cerita di novelnya. Permasalahan utama dari apa yang aku
lihat sendiri, yakni adanya penambahan-penambahan alur yang menurutku itu
takperlu. Kalau penambahan itu dilakukan untuk memperjelas cerita (dengan
cerita yang menarik dan sinematografi yang mumpuni) seperti yang dilakukan
Peter Jackson di Trilogi The Lord of The Rings dan The Hobbit, itu tak masalah.
Sayangnya tidak banyak yang seperti itu. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya
Hamka, lalu Madrenya Dee sendiri, tidak memenuhi ekspektasiku itu. Dan
Supernova seakan menjawab kegelisahan setiap pembaca ketika menonton film dari
buku yang dibacanya. Termasuk aku.
Di luar tanggapan
apresiasiku atas film itu, ada satu hal sebenarnya yang mengganggu pikiranku
(dan juga teman diskusiku). Tentang konsep angka tiga yang terus bermunculan
selama aku menyelami cerita Supernova. Terdengar ganjil memang, mengapa aku
bisa bilang ada konsep angka tiga di sana.
Kenapa angka tiga,
bukan satu, dua, atau lainnya. Pada awalnya aku cuma menduga ini sebatas
kebetulan. Temanku pun beranggapan begitu, namun, semakin dipikirkan semakin
sulit untuk mempercayai bahwa itu sebatas kebetulan.
Pertama, sub judul dari
Supernova sendiri adalah Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Tiga konsep tokoh
rekaan yang diceritakan di dalam Supernova sebagai dongeng yang membayangi
pikiran Ferre ketika kecil dan beranjak dewasa. Dongeng tentang seorang Ksatria
yang jatuh cinta pada seorang Putri. Namun, ketika hendak bertemu lebih dekat,
Putri tersebut terbang tinggi ke langit. Maka Ksatria berusaha meraih Sang
Putri. Dia berlatih terbang kepada kupu-kupu, angin, awan, dan sebagainya
hingga dia bertemu dengan Bintang Jatuh. Bintang Jatuh mampu membawa Ksatria
sampai tepat di pangkuan Putri dalam sekejap mata, asalkan dia bisa berhenti
tepat pada waktunya, sebab kecepatan tinggi yang dimiliki Bintang Jatuh mampu
menghancurleburkan tubuh Ksatria bila tidak berhenti tepat pada waktunya.
Bagaimana caranya, Ksatria bertanya. Kamu bisa merasakannya, jawab Bintang
Jatuh, bila hatimu mengatakan iya. Maka Ksatria dan Bintang Jatuh terbang ke
tempat Putri berada. Namun, sesaat sebelum sampai, Bintang Jatuh tertarik oleh
pesona Putri dan ikut jatuh cinta. Dia ingin memilikinya dan tidak ingin
Ksatria yang mendapatkannya. Yang terjadi adalah sebuah pengkhianatan. Bintang
Jatuh melepas genggaman tangan Ksatria, membiarkan tubuhnya hancur lebur, dan
Bintang Jatuh mendapatkan cinta Putri. Sebelum mati, Ksatria menyadari,
pengorbanan yang dilakukannya menjadi sia-sia, karena sebuah pengkhianatan.
Kedua adalah sudut
pandang Arwin. Sedikit berbeda dengan Ferre, di sini Arwin adalah Ksatria, yang
mencoba mempertahankan cinta Rana Sang Putri, istrinya, yang direbut cintanya
oleh Bintang Jatuh bernama Ferre. Bedanya di sini, apa yang terjadi dengan
Arwin mengikuti konsep tokoh rekaan dongeng yang ada. Dia menderita sebagai
Ksatria yang dikhianati oleh Putri dan Bintang Jatuh. Dan untungnya, sama
seperti Ferre, Arwin tidak berakhir benar-benar menderita. Jiwa Arwin dengan
cinta yang membebaskan membuat Rana merasa dia tidak bisa pergi meninggalkan
Arwin yang begitu tulus dan dalam mencintainya. Hingga dia ragu, apakah bila
dia pergi, Ferre mampu mencintainya seperti Arwin mencintai dirinya.
Lalu, angka tiga
selanjutnya melingkupi tema. Tema di dalam Supernova adalah filsafat, cinta,
dan sains fisika. Filsafat dibawa oleh kehadiran tokoh Supernova, sesosok cyber avatar yang mencoba membuka
pikiran manusia pada kenyataan-kenyataan, hal-hal, yang kerap tak disadari
manusia di dalam hidupnya. Filsafat yang dibawa Supernova melingkupi pengertian
filsafat secara umum, hingga ke cabang-cabang filsafat yang lebih khusus,
seperti eksistensialisme sampai marxisme. Supernova bukan sebuah ajaran,
melainkan sebuah ruang diskusi tempat tanya jawab, yang disebutnya sebagai
taman kanak-kanak. Bedanya, di sana tidak ada guru dan murid. Semua berada di
taraf yang sama, derajat yang sama, dengan kesempatan yang sama untuk saling
belajar dan memberitahu satu sama lain.
Kemudian cinta. Cinta
ini melingkupi dua cerita besar di dalam Supernova. Cinta sesama jenis yang
diperankan oleh Dhimas dan Ruben sebagai penulis cerita Ferre, Rana, Arwin, dan
Diva si Supernova, juga cinta yang melibatkan pihak ketiga seperti yang dialami
keempat tokoh ciptaan Dhimas dan Ruben.
Terakhir adalah sains
fisika. Di dalam Supernova, akan banyak ditemui istilah-istilah sains seperti serotonin,
Kucing Paradoks Shcrodingger, dan
banyak lagi. Istilah-istilah sains ini berasal dari pemikiran Ruben yang
merupakan tokoh dengan pengetahuan di bidang fisika modern dan ikut andil dalam
memberi penjelasan mengenai gejolak perasaan tokoh-tokoh yang dibuatnya bersama
Dhimas. Yang bisa diartikan, Dee mencoba memberi gambaran mengenai sesuatu yang
abstrak tersebut ternyata dapat dijelaskan dengan rasio manusia, menggunakan
akal dan ilmu pengetahuannya.
Konsep angka tiga yang
ketiga adalah sosok Supernova tentunya. Supernova adalah sosok cyber avatar. Avatar bisa dikatakan
sebagai dewa yang turun ke dunia untuk membantu menyelesaikan masalah yang
dihadapi manusia. Bedanya, avatar di Supernova mengambil tempat bukan dari
sebuah gua terpencil di tengah hutan rimba, melainkan jaringan yang dikenal
dengan dunia maya atau internet sehingga disebut cyber avatar.
Setelah membaca, kami
mengetahui ternyata ada tiga sosok Supernova di dalam novel tersebut. Supernova
yang pertama adalah penulis sendiri. Dee. Dee sebagai Supernova memberi
pencerahan kepada pembaca melalui suntikan obat bius berupa novelnya tersebut.
Supernova Dee ini yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan tokoh-tokoh
rekaannya seperti Dhimas dan Ruben, untuk menuliskan kisah Ksatria, Putri, dan
Bintang Jatuh. Supernova kedua adalah yang berada di dalam cerita Dhimas dan
Ruben.
Di bagian cerita
mengenai mereka berdua, Supernova hadir sebagai sosok paralel yang hadir di
akhir cerita, tepat di hadapan Dhimas dan Ruben yang menatap layar monitor
dengan raut wajah tidak percaya, melalui surat elektronik yang menyatakan bahwa
dia sudah menanti-nanti Dhimas dan Ruben menulis kisah mengenai Ksatria, Putri,
dan Bintang Jatuh dengan sosok cyber avatar sebagai inti ceritanya. Supernova
yang terakhir berada di dalam cerita yang ditulis Dhimas dan Ruben. Sosok
Supernova di dalam cerita inilah yang membuat pikiran Dhimas dan Ruben merasa
bahwa tokoh yang mereka ciptakan ternyata memiliki dunia paralel dengan
kenyataan tempat mereka hidup saat itu juga. Dengan kata lain, tokoh yang
mereka tulis ternyata ada tokoh yang serupa di dunia nyatanya.
Balik lagi ke Supernova
yang ditulis mereka berdua, sosok Supernova ini diwakili oleh seorang wanita
cantik bernama Diva. Diva adalah seorang model dengan pengetahuan yang begitu
luas dan menjelmakan dirinya bila waktu senggang menjadi sesosok cyber avatar yang menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka yang ingin tahu lebih dalam tentang kehidupan,
juga melemparkan wacana-wacana yang membantu mereka memahami kehidupan itu
sendiri. Diva juga yang kelak menjadi tokoh penengah, ketika Ferre dan Rana
berada dalam dilema cinta. Bisa dikatakan bahwa Dee menciptakan satu alur yang
memiliki tiga lapisan, Supernova di dalam Supernova dengan Supernova lain
sebagai ceritanya.
Terdengar rumit,
memang. Aku pun baru menyadarinya ketika ngobrol dengan temanku itu, ketika
membaca sendiri, pikiran tentangnya secuil pun tak muncul. Angka tiga yang
seakan mencoba menjabarkan keadaan antara dua sisi, chaos dan order, dengan
sisi lain, titik keseimbangan, di tengah-tengah yang muncul dari hasil
pertemuan keduanya, seperti yang dialami ketiga tokoh rekaan Dhimas dan Ruben.
Namun, apakah dugaanku
itu cukup? Sayangnya aku tidak bisa menjabarkannya lebih lanjut lagi,
keterbatasan pengetahuanku tentang angka-angka mau tidak mau memberhentikanku
di sana. Kamu aku rasa juga begitu. Tidak begitu mengerti.
Terlepas dari hal itu,
aku merekomendasikanmu untuk menyelami cerita ini. Bisa dengan baca bukunya
terlebih dulu, atau menonton filmnya dulu pun sama saja. Berhubung malam ini weekend, tidak ada salahnya kalau kamu
pergi ke bioskop, selama masih diputar loh
Lita. Hee.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar