Sabtu, 13 Desember 2014

Dewi Lestari dan Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Ekranisasi Sebuah Mahakarya

Apa yang bisa kamu gambarkan dari Desember kali ini. Bulan di penghujung tahun yang selalu membawa kegairahan tersendiri, seperti tahun-tahun sebelumnya, dengan hujan yang membawa nuansa puitis, ujian akhir yang dramatis, ledakan kembang api di langit nanti, dan tidak ketinggalan, film-film yang layak ditonton bila kamu tidak memilih pergi rekreasi ke mana-mana selain ke bioskop atau lapak DVD bajakan. Sebut saja ada The Hunger Games The Mockingjay, The Maze Runner, Interstellar, Doraemon The Movie: Stand by Me, The Hobbit The Battle of Five Armies, dan Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang bisa menjadi alternatif film-filmmu.
Dan kemarin malam, giliran Supernova yang menambah gairahku.
Supernova sendiri merupakan film adaptasi dari novel Dewi ‘Dee’ Lestari dengan judul yang sama. Kamu bisa menyebutnya sebagai sebuah ekranisasi, semacam perpindahan media dari buku ke film. Tentu bicara tentang ekranisasi, apalagi ekranisasi karya sastra Indonesia, tidak banyak, jujur saja, yang mampu memberi ekspektasi memuaskan kepada para penonton, baik itu yang sudah membaca karyanya ataupun penonton umum. Dan aku bisa bilang, tanpa menganggapnya berlebihan, Supernova adalah salah satu yang berhasil memenuhi ekspektasi itu, juga bila dibandingkan dengan ekranisasi sejenis karya-karyanya, seperti Madre, Rectoverso, atau Perahu Kertas.
Apa yang membuatku begitu yakin, bisa kamu lihat sendiri nanti dari berbagai macam aspek. Ini hanya dari pandangan umum dariku ya tentunya. Pertama tentu saja pemilihan pemeran yang tepat, sesuai dengan deskripsi yang tercantum di novelnya. Dari pasangan gay Dimas dan Rhuben sampai kemolekan tubuh Diva Sang Supernova. Meski salah seorang teman agak kurang setuju dengan pemeran Diva, karena kurang nakal dan sensual katanya. Hahaha. Tapi secara keseluruhan, tidak masalah. Perbedaan-perbedaan kecil dalam hal pemeran tokoh aku rasa tak apa, selama tidak mengubah alur cerita sendiri dan masih sesuai dengan deskripsinya.
Kedua tentu animasi dan visual efek yang digunakan. Aku kasih contoh ketika Ferre menceritakan dongeng Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Animasi yang aku rasa tidak memalukan, bahkan aku bilang itu keren. Tidak kalah dengan animasi bikinan luar. Penggambaran tokohnya juga membawa unsur-unsur budaya dari Indonesia sendiri. Ksatria, yang awalnya aku gambarkan berbaju zirah seperti Don Quixote ternyata berbaju ala Gatotkaca. Begitu juga dengan Putri yang di gambaranku tampak seperti Putri-Putri dari Walt Disney, justru mengenakan pakaian ala Putri Jawa dengan kebayanya. Unsur-unsur budaya yang seakan menampik pikiran-pikiranku tentang gambaran dari negeri barat yang selalu menarik, ternyata di daerah sendiri pun jauh lebih menarik. Lagipula, animasi yang digunakan kalau kamu melihatnya sendiri nanti, jangan kamu sandingkan dengan animasi legenda di saluran tivi swasta yang setengah matang itu. Aku bisa melihat senyum simpulmu, yang menandakan kamu mengerti maksudku.
Terakhir adalah alur yang sesuai jalan cerita di novelnya. Permasalahan utama dari apa yang aku lihat sendiri, yakni adanya penambahan-penambahan alur yang menurutku itu takperlu. Kalau penambahan itu dilakukan untuk memperjelas cerita (dengan cerita yang menarik dan sinematografi yang mumpuni) seperti yang dilakukan Peter Jackson di Trilogi The Lord of The Rings dan The Hobbit, itu tak masalah. Sayangnya tidak banyak yang seperti itu. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka, lalu Madrenya Dee sendiri, tidak memenuhi ekspektasiku itu. Dan Supernova seakan menjawab kegelisahan setiap pembaca ketika menonton film dari buku yang dibacanya. Termasuk aku.
Di luar tanggapan apresiasiku atas film itu, ada satu hal sebenarnya yang mengganggu pikiranku (dan juga teman diskusiku). Tentang konsep angka tiga yang terus bermunculan selama aku menyelami cerita Supernova. Terdengar ganjil memang, mengapa aku bisa bilang ada konsep angka tiga di sana.
Kenapa angka tiga, bukan satu, dua, atau lainnya. Pada awalnya aku cuma menduga ini sebatas kebetulan. Temanku pun beranggapan begitu, namun, semakin dipikirkan semakin sulit untuk mempercayai bahwa itu sebatas kebetulan.
Pertama, sub judul dari Supernova sendiri adalah Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Tiga konsep tokoh rekaan yang diceritakan di dalam Supernova sebagai dongeng yang membayangi pikiran Ferre ketika kecil dan beranjak dewasa. Dongeng tentang seorang Ksatria yang jatuh cinta pada seorang Putri. Namun, ketika hendak bertemu lebih dekat, Putri tersebut terbang tinggi ke langit. Maka Ksatria berusaha meraih Sang Putri. Dia berlatih terbang kepada kupu-kupu, angin, awan, dan sebagainya hingga dia bertemu dengan Bintang Jatuh. Bintang Jatuh mampu membawa Ksatria sampai tepat di pangkuan Putri dalam sekejap mata, asalkan dia bisa berhenti tepat pada waktunya, sebab kecepatan tinggi yang dimiliki Bintang Jatuh mampu menghancurleburkan tubuh Ksatria bila tidak berhenti tepat pada waktunya. Bagaimana caranya, Ksatria bertanya. Kamu bisa merasakannya, jawab Bintang Jatuh, bila hatimu mengatakan iya. Maka Ksatria dan Bintang Jatuh terbang ke tempat Putri berada. Namun, sesaat sebelum sampai, Bintang Jatuh tertarik oleh pesona Putri dan ikut jatuh cinta. Dia ingin memilikinya dan tidak ingin Ksatria yang mendapatkannya. Yang terjadi adalah sebuah pengkhianatan. Bintang Jatuh melepas genggaman tangan Ksatria, membiarkan tubuhnya hancur lebur, dan Bintang Jatuh mendapatkan cinta Putri. Sebelum mati, Ksatria menyadari, pengorbanan yang dilakukannya menjadi sia-sia, karena sebuah pengkhianatan.
Kedua adalah sudut pandang Arwin. Sedikit berbeda dengan Ferre, di sini Arwin adalah Ksatria, yang mencoba mempertahankan cinta Rana Sang Putri, istrinya, yang direbut cintanya oleh Bintang Jatuh bernama Ferre. Bedanya di sini, apa yang terjadi dengan Arwin mengikuti konsep tokoh rekaan dongeng yang ada. Dia menderita sebagai Ksatria yang dikhianati oleh Putri dan Bintang Jatuh. Dan untungnya, sama seperti Ferre, Arwin tidak berakhir benar-benar menderita. Jiwa Arwin dengan cinta yang membebaskan membuat Rana merasa dia tidak bisa pergi meninggalkan Arwin yang begitu tulus dan dalam mencintainya. Hingga dia ragu, apakah bila dia pergi, Ferre mampu mencintainya seperti Arwin mencintai dirinya.
Lalu, angka tiga selanjutnya melingkupi tema. Tema di dalam Supernova adalah filsafat, cinta, dan sains fisika. Filsafat dibawa oleh kehadiran tokoh Supernova, sesosok cyber avatar yang mencoba membuka pikiran manusia pada kenyataan-kenyataan, hal-hal, yang kerap tak disadari manusia di dalam hidupnya. Filsafat yang dibawa Supernova melingkupi pengertian filsafat secara umum, hingga ke cabang-cabang filsafat yang lebih khusus, seperti eksistensialisme sampai marxisme. Supernova bukan sebuah ajaran, melainkan sebuah ruang diskusi tempat tanya jawab, yang disebutnya sebagai taman kanak-kanak. Bedanya, di sana tidak ada guru dan murid. Semua berada di taraf yang sama, derajat yang sama, dengan kesempatan yang sama untuk saling belajar dan memberitahu satu sama lain.
Kemudian cinta. Cinta ini melingkupi dua cerita besar di dalam Supernova. Cinta sesama jenis yang diperankan oleh Dhimas dan Ruben sebagai penulis cerita Ferre, Rana, Arwin, dan Diva si Supernova, juga cinta yang melibatkan pihak ketiga seperti yang dialami keempat tokoh ciptaan Dhimas dan Ruben.
Terakhir adalah sains fisika. Di dalam Supernova, akan banyak ditemui istilah-istilah sains seperti serotonin, Kucing Paradoks Shcrodingger, dan banyak lagi. Istilah-istilah sains ini berasal dari pemikiran Ruben yang merupakan tokoh dengan pengetahuan di bidang fisika modern dan ikut andil dalam memberi penjelasan mengenai gejolak perasaan tokoh-tokoh yang dibuatnya bersama Dhimas. Yang bisa diartikan, Dee mencoba memberi gambaran mengenai sesuatu yang abstrak tersebut ternyata dapat dijelaskan dengan rasio manusia, menggunakan akal dan ilmu pengetahuannya.
Konsep angka tiga yang ketiga adalah sosok Supernova tentunya. Supernova adalah sosok cyber avatar. Avatar bisa dikatakan sebagai dewa yang turun ke dunia untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia. Bedanya, avatar di Supernova mengambil tempat bukan dari sebuah gua terpencil di tengah hutan rimba, melainkan jaringan yang dikenal dengan dunia maya atau internet sehingga disebut cyber avatar.
Setelah membaca, kami mengetahui ternyata ada tiga sosok Supernova di dalam novel tersebut. Supernova yang pertama adalah penulis sendiri. Dee. Dee sebagai Supernova memberi pencerahan kepada pembaca melalui suntikan obat bius berupa novelnya tersebut. Supernova Dee ini yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan tokoh-tokoh rekaannya seperti Dhimas dan Ruben, untuk menuliskan kisah Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Supernova kedua adalah yang berada di dalam cerita Dhimas dan Ruben.
Di bagian cerita mengenai mereka berdua, Supernova hadir sebagai sosok paralel yang hadir di akhir cerita, tepat di hadapan Dhimas dan Ruben yang menatap layar monitor dengan raut wajah tidak percaya, melalui surat elektronik yang menyatakan bahwa dia sudah menanti-nanti Dhimas dan Ruben menulis kisah mengenai Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dengan sosok cyber avatar sebagai inti ceritanya. Supernova yang terakhir berada di dalam cerita yang ditulis Dhimas dan Ruben. Sosok Supernova di dalam cerita inilah yang membuat pikiran Dhimas dan Ruben merasa bahwa tokoh yang mereka ciptakan ternyata memiliki dunia paralel dengan kenyataan tempat mereka hidup saat itu juga. Dengan kata lain, tokoh yang mereka tulis ternyata ada tokoh yang serupa di dunia nyatanya.
Balik lagi ke Supernova yang ditulis mereka berdua, sosok Supernova ini diwakili oleh seorang wanita cantik bernama Diva. Diva adalah seorang model dengan pengetahuan yang begitu luas dan menjelmakan dirinya bila waktu senggang menjadi sesosok cyber avatar yang menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang ingin tahu lebih dalam tentang kehidupan, juga melemparkan wacana-wacana yang membantu mereka memahami kehidupan itu sendiri. Diva juga yang kelak menjadi tokoh penengah, ketika Ferre dan Rana berada dalam dilema cinta. Bisa dikatakan bahwa Dee menciptakan satu alur yang memiliki tiga lapisan, Supernova di dalam Supernova dengan Supernova lain sebagai ceritanya.
Terdengar rumit, memang. Aku pun baru menyadarinya ketika ngobrol dengan temanku itu, ketika membaca sendiri, pikiran tentangnya secuil pun tak muncul. Angka tiga yang seakan mencoba menjabarkan keadaan antara dua sisi, chaos dan order, dengan sisi lain, titik keseimbangan, di tengah-tengah yang muncul dari hasil pertemuan keduanya, seperti yang dialami ketiga tokoh rekaan Dhimas dan Ruben.
Namun, apakah dugaanku itu cukup? Sayangnya aku tidak bisa menjabarkannya lebih lanjut lagi, keterbatasan pengetahuanku tentang angka-angka mau tidak mau memberhentikanku di sana. Kamu aku rasa juga begitu. Tidak begitu mengerti.
Terlepas dari hal itu, aku merekomendasikanmu untuk menyelami cerita ini. Bisa dengan baca bukunya terlebih dulu, atau menonton filmnya dulu pun sama saja. Berhubung malam ini weekend, tidak ada salahnya kalau kamu pergi ke bioskop, selama masih diputar loh Lita. Hee.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar