Kamis, 06 November 2014

[Cerpen] Perempuan Bulan

Sebelum tidur aku merasa ada seorang perempuan yang berbisik memanggilku setiap detik. Ketika menoleh, dari luar jendela kamar arahnya. Perempuan itu tersenyum di sana. Wajahnya yang seputih putri salju dan gaun kirana yang dikenakannya menawan mataku. Cantik sekali, meski wajahnya bulat dan bertubuh gendut.
Aku langsung teringat cerita Ayah. Saat itu kami sedang bersandar di tempat tidur, saling mengalihkan perhatian kepada bulan dan langit penuh bintang-bintang, yang memenuhi sebuah bingkai atap kamarku yang dibuat khusus dari kaca.
“Kamu tahu, Lita, bulan adalah jelmaan seorang perempuan,” kata Ayah ketika aku meminta cerita dari mana asal usul bulan,
“dulu, perempuan itu didatangi malaikat yang menjawab doanya dan mau mengabulkan permintaannya. Hanya satu permintaan, tidak lebih,” lanjutnya.
“Perempuan itu mengatakan apa?” sahutku.
“Dia ingin abadi.”
“Mengapa ingin abadi?”
“Karena dia manusia biasa. Manusia biasa kelak akan mati, dan tidak bisa abadi.”
“Karena itu dia meminta diubah menjadi bulan?”
“Tidak hanya itu. Dia sedih melihat keadaan manusia ketika malam tiba. Dulu, belum ditemukan lampu. Manusia masih menggunakan nyala api yang rentan dan kapan-kapan bisa padam, dan sungguh berbahaya bila padam. Binatang buas dan raksasa akan memangsa mereka bila kesempatan itu ada. Makanya, dia ingin menjadi penerang manusia di waktu malam.”
“Jadi, manusia tidak perlu khawatir kalau api mereka padam kan, Yah?”
“Iya, mereka bisa tidur dengan aman, bisa nyenyak seperti kamu sekarang ini,  bedanya mereka bisa nyenyak karena binatang buas dan raksasa takut dengan cahaya bulan. Mereka lari ke hutan-hutan terliar, goa-goa terpencil, dan laut-laut terdalam bila tiba malam, dan terus bersembunyi sampai perempuan itu tidur digantikan matahari.”
Panggilan lembut perempuan itu menyadarkanku. Dia masih ada di sana.
“Kamu perempuan itu?” tanyaku menghampirinya.
Dia tersenyum. Tangannya melambai mengajakku ke luar kamar.
“Tapi, Ayah akan memarahiku kalau aku pergi keluar malam-malam begini. Binatang buas dan raksasa selalu mengintai di saat seperti ini.”
Dia tersenyum lagi.
Aku lupa, dia adalah perempuan itu! Tidak ada yang perlu ditakutkan. Untuk pertama kalinya, aku pergi merangkak ke luar kamar dari jendela, menghampirinya yang duduk di atas rumput Jepang yang ditanam olehku bersama Ayah dulu.
“Kamu mau dengar cerita apa?” dia bertanya seraya mengajakku untuk berbaring di pangkuannya.
“Apa saja.”
“Apa saja?”
“Apa saja.”
“Bagaimana kalau tentang orang-orang zaman dulu, peri-peri, dan raksasa-raksasa?”
Aku mengangguk. Apapun akan kudengarkan sampai tanpa sadar aku tertidur di dalam buaiannya, hingga keesokan pagi aku dimarahi oleh Ayah karena tidur bukan pada tempatnya.
“Kamu bisa sakit nanti! Udara malam begitu jahat!”
“Aku tidak takut sama udara malam, ada bulan yang menemaniku.”
Ayah mendadak diam. Lalu duduk di sebelahku sambil mengusap-usap rambutku.
“Lita,” lanjutnya,
“udara malam itu jelmaan raksasa yang begitu benci dan bisa sembunyi dari pengawasan bulan. Mereka bisa masuk ke tubuhmu lewat lubang telingamu, hidungmu, mulutmu, dan pusarmu tanpa kamu ketahui. Dan mereka akan memangsa korbannya dari dalam sana.
Aku terdiam mendengar penjelasan Ayah.
“Jangan diulangi lagi!”
“Tapi Yah, aku senang mendengar bulan bercerita.”
“Tidak ada kata tapi, kalau kamu sakit, siapa yang akan merawatmu? Apa bulan mau merawatmu? Pasti Ayah yang merawatmu kan, tidak ada yang lain.”
“Iya Yah . . . .”
“Dan, Ayah bisa bercerita apapun yang kamu mau, sebagai pengganti bulan kalau kamu memang senang mendengarnya bercerita.”
“Aku mau cerita tentang perempuan itu.”
“Tentang bulan?”
Aku mengangguk.
“Asal, jangan diulangi lagi perbuatanmu semalam.”
Namun, tidak bertahan lama, aku pergi merangkak lagi ke luar kamar dari jendela untuk mendengarkan perempuan itu bercerita. Aku lalu bergegas kembali setelah ceritanya selesai dan kantukku tidak tertahankan lagi, apalagi bila dia mulai melantunkan lagu sebelum tidur. Lagu yang biasa kudengar dari Ayah, meski suara Ayah tidak semerdu suaranya memang.
“Maaf bulan, aku harus segera kembali. Aku takut Ayah marah lagi, dan aku juga takut raksasa memangsaku dari dalam perutku.”
“Aku akan melindungimu, Lita.”
“Ayah bilang angin malam adalah raksasa yang begitu benci kepadamu, aku ragu mereka akan mengambil banyak cara untuk memangsaku, meski kamu yang melindungiku.”
“Aku akan selalu melindungimu. Buktinya kamu bisa sebesar ini sekarang.”
“Itu karena Ayah . . . .”
Perempuan itu memelukku dan aku tertidur di sana. Untungnya dia membangunkanku tepat sebelum matahari terbit. Menyuruhku untuk bergegas kembali ke kamar. Beberapa malam pun berlalu seperti itu sampai kemudian Ayah masuk ke kamar dan melihatku bergetar menggigil.
Kalau kamu tahu rasanya menyakitkan sekali. Aku merasa kedinginan meskipun badanku justru kepanasan. Kata Ayah, mereka sudah masuk ke dalam badanku dan sedang berpesta di sana sampai suhuku meningkat. Ayah lalu membawaku ke rumah sakit. Di sana, ada seorang malaikat yang mampu mengusir raksasa itu dan membuatnya berhenti berpesta pora. Dengan syarat, aku hanya disuruhnya menahan sakit sesaat, ketika malaikat itu menyengat raksasa itu dengan semacam cairan, membuat mereka semua hanyut sembari memadamkan api pesta.
“Dan kamu,” kata Ayah lagi,
“mesti minum obat yang diberi tadi supaya sisa-sisa tubuh mereka yang tersisa benar-benar musnah.”
Aku mengangguk.
“Jangan memberi umpan lagi kepada para raksasa. Kamu sudah pernah merasakan betapa sakitnya, bukan?”
Aku mengangguk lagi.
“Tidak akan Ayah, aku juga jadi benci mereka sekarang.”
**
“Kamu bilang, kamu akan melindungiku.”
“Aku memang melindungimu, Lita.”
“Bagaimana bisa mereka masuk, padahal cahayamu adalah hal yang mereka takutkan?”
“Ada tempat yang tidak bisa dimasuki cahayaku.”
“Apa itu goa-goa terpencil, hutan-hutan terliar, dan laut-laut terdalam seperti kata Ayah?”
“Bukan hanya itu.”
“Bukan hanya itu?”
“Bagaimana bisa aku masuk ke dalam sini? telunjuknya mengarah ke dadaku.”
“Benar juga, bagaimana bisa ya? Mungkin dari lubang telingaku, atau hidungku, atau bisa saja dari mulut ketika aku mengantuk. Bukannya aku menguap melulu kalau sudah begitu?”
“Coba buka mulutmu.”
“Aaaaaaaaaa, hahahaaa, geli!”
Dia menggelitikku.
**
“Apa yang terjadi dengannya, Ayah. Dia menghilang hari ini.”
“Dia sedang diganggu oleh raksasa,” Ayah mulai menerangkan sambil merangkulku di tempat tidur.
“Seharusnya raksasa tidak bisa mendekati dia. Bukankah raksasa takut pada cahayanya?”
“Kamu lupa ya, seperti angin malam, beberapa raksasa yang menyimpan nafsu jahat memendam rasa benci mereka begitu dalam, yang justru membuat mereka terus menerus bertambah kuat dan kebal terhadap cahayanya.”
“Selain mereka juga mengetahui, bahwa bulan itu tidak lain adalah seorang perempuan, seorang manusia yang masih memiliki hati, yang bisa satu saat kuat dan satu saat lain lemah.”
“Saat lemah itulah, raksasa berbondong-bondong memangsanya. Ada yang memegang kedua tangannya. Ada yang memegang kakinya. Yang lain menjilatinya. Yang lainnya lagi menindihnya.”
“Jahat sekali mereka. Aku takut.”
“Mereka juga jauh lebih jahat. Mereka kejam. Mereka masukkan banyak ular ke dalam tubuhnya. Sampai bisa ular-ular tersebut menggerogotinya sedikit demi sedikit sampai bagian tubuh itu kehilangan cahayanya. Mereka lantas tertawa terkekeh-kekeh, merasakan kemenangan atas perempuan itu.”
“Mengerikan sekali, apa yang bisa kita lakukan, Yah? Kita harus membantunya.”
“Tidak ada.”
“Tidak ada?”
“Iya.”
“Diam saja?”
“Iya.”
“Dia kesakitan, Yah.”
“Biarkan.”
“Dia bisa mengatasinya sendiri. Nanti, ketika raksasa-raksasa itu lengah karena kemenangan mereka, kelak mereka akan binasa dengan sendirinya. Masyarakat langit turun tangan membantu perempuan itu, menjatuhkan hujan bintang-bintang yang melumerkan tubuh mereka, dan mungkin yang selamat hanya segelintirnya.”
“Perempuan itu lalu bagaimana keadaannya?”
“Mereka membantunya. Malaikat pun ikut turun tangan menyembuhkan luka-lukanya, hingga menjadi tidak ada luka sama sekali. Dan bisa kembali menyinari manusia di waktu malam seperti biasanya.”
“Juga untuk menemuiku?”
Ayah memandangku lama.
“Iya.”
Sebenarnya aku ingin tetap bertanya, namun melihat wajah Ayah yang mendadak berubah, kuurungkan niatku itu.
**
“Aku khawatir sama keadaanmu.”
Perempuan itu mengangguk. Tersenyum.
“Tidak apa-apa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Buktinya aku bisa menemuimu sekarang.”
“Aku takut mendengar cerita Ayah kemarin.”
“Cerita tentang apa?”
“Tentang raksasa-raksasa yang berbuat jahat kepadamu. Aku takut sekaligus benci mereka. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Kamu pasti terbayang bagaimana keadaanku saat itu ya?”
“Iya, dan aku tidak mau membayangkannya lagi. Ceritakan aku tentang hal-hal lain saja.”
**
“Ayah, siapa nama perempuan itu?”
“Perempuan yang mana?”
“Perempuan yang menjadi bulan.”
“Tidak tahu.”
“Masa tidak tahu?”
“Tidak tahu.”
“Aku mau tanya benar apa tidak, nama yang diberitahu perempuan itu kemarin.”
“Oh iya, memangnya perempuan itu namanya siapa?”
**
“Aku ingin tahu namamu, kita sudah lama berkenalan tapi kamu tidak pernah menyebutkan namamu.”
“Menurutmu siapa namaku, Lita?”
“Aku tidak tahu.”
“Kalau kuberitahu?”
“Aku mau.”
**
“Sebelum dia berdoa dan bertemu malaikat yang akan melepaskan tubuh manusianya menjadi bulan, perempuan itu pergi diam-diam meninggalkan seorang gadis kecil yang saat itu sedang tertidur nyenyak di gubuknya.
“Kenapa dia meninggalkannya, Yah?”
“Belum selesai Lita. Dia melakukan itu karena tubuh manusianya sudah tidak mampu lagi menghadapi para raksasa kelaparan yang terus berusaha memangsanya. Dia sudah terluka parah. Makanya, dia memohon kepada malaikat untuk mengubah dirinya menjadi sosok yang kuat. Sosok yang bisa terus melindungi gadis kecil itu dari serangan para raksasa.”
“Dia berubah menjadi bulan.”
“Seperti yang kamu lihat sekarang ini.”
“Tapi Yah, kenapa aku merasa ada kesamaan antara aku dan dia.”
“Apa itu?”
“Mata kami sama-sama sipit.”
“Dan kamu, sama-sama seputih putri salju.”
“Dari mana Ayah tahu? Ayah kan tidak pernah lihat perempuan itu secara langsung.”
Ayah diam. Lalu tersenyum. Mendadak aku melihat pelangi di wajahnya.

***

1 komentar: