Sebelum tidur aku
merasa ada seorang perempuan yang berbisik memanggilku setiap
detik. Ketika menoleh, dari luar jendela kamar arahnya. Perempuan itu
tersenyum di sana. Wajahnya yang seputih putri salju dan gaun kirana yang
dikenakannya menawan mataku. Cantik sekali, meski wajahnya bulat dan bertubuh
gendut.
Aku langsung teringat
cerita Ayah. Saat itu kami sedang bersandar di tempat tidur, saling mengalihkan
perhatian kepada bulan dan langit penuh bintang-bintang, yang memenuhi sebuah
bingkai atap kamarku yang dibuat khusus dari kaca.
“Kamu tahu, Lita, bulan
adalah jelmaan seorang perempuan,” kata Ayah ketika aku meminta cerita dari
mana asal usul bulan,
“dulu, perempuan itu
didatangi malaikat yang menjawab doanya dan mau mengabulkan permintaannya.
Hanya satu permintaan, tidak lebih,” lanjutnya.
“Perempuan itu
mengatakan apa?” sahutku.
“Dia ingin abadi.”
“Mengapa ingin abadi?”
“Karena dia manusia
biasa. Manusia biasa kelak akan mati, dan tidak bisa abadi.”
“Karena itu dia meminta
diubah menjadi bulan?”
“Tidak hanya itu. Dia
sedih melihat keadaan manusia ketika malam tiba. Dulu,
belum ditemukan lampu. Manusia masih menggunakan nyala api yang rentan dan
kapan-kapan bisa padam, dan sungguh berbahaya bila
padam. Binatang buas dan raksasa akan memangsa mereka bila kesempatan
itu ada. Makanya, dia ingin menjadi penerang manusia di waktu malam.”
“Jadi, manusia tidak
perlu khawatir kalau api mereka padam kan, Yah?”
“Iya, mereka bisa tidur
dengan aman, bisa nyenyak seperti kamu sekarang ini, bedanya mereka bisa nyenyak karena binatang
buas dan raksasa takut dengan cahaya bulan. Mereka lari ke hutan-hutan terliar,
goa-goa terpencil, dan laut-laut terdalam bila tiba malam, dan terus
bersembunyi sampai perempuan itu tidur digantikan matahari.”
Panggilan lembut
perempuan itu menyadarkanku. Dia masih ada di sana.
“Kamu perempuan itu?”
tanyaku menghampirinya.
Dia tersenyum.
Tangannya melambai mengajakku ke luar kamar.
“Tapi, Ayah akan
memarahiku kalau aku pergi keluar malam-malam begini. Binatang buas dan raksasa
selalu mengintai di saat seperti ini.”
Dia tersenyum lagi.
Aku lupa, dia adalah
perempuan itu! Tidak ada yang perlu
ditakutkan. Untuk pertama kalinya, aku pergi merangkak ke luar kamar dari
jendela, menghampirinya yang duduk di atas rumput Jepang yang ditanam olehku
bersama Ayah dulu.
“Kamu mau dengar cerita
apa?” dia bertanya seraya mengajakku untuk berbaring di pangkuannya.
“Apa saja.”
“Apa saja?”
“Apa saja.”
“Bagaimana kalau
tentang orang-orang zaman dulu, peri-peri, dan raksasa-raksasa?”
Aku mengangguk. Apapun
akan kudengarkan sampai tanpa sadar aku tertidur di
dalam buaiannya, hingga keesokan pagi aku dimarahi oleh Ayah karena
tidur bukan pada tempatnya.
“Kamu bisa sakit nanti!
Udara malam begitu jahat!”
“Aku tidak takut sama
udara malam, ada bulan yang menemaniku.”
Ayah mendadak diam.
Lalu duduk di sebelahku sambil mengusap-usap
rambutku.
“Lita,” lanjutnya,
“udara malam itu
jelmaan raksasa yang begitu benci dan bisa sembunyi dari pengawasan bulan.
Mereka bisa masuk ke tubuhmu lewat lubang telingamu, hidungmu, mulutmu, dan
pusarmu tanpa kamu ketahui. Dan mereka akan memangsa korbannya dari dalam sana.”
Aku terdiam mendengar
penjelasan Ayah.
“Jangan diulangi lagi!”
“Tapi Yah, aku senang
mendengar bulan bercerita.”
“Tidak ada kata tapi,
kalau kamu sakit, siapa yang akan merawatmu? Apa bulan mau merawatmu? Pasti
Ayah yang merawatmu kan, tidak ada yang lain.”
“Iya Yah . . . .”
“Dan, Ayah bisa
bercerita apapun yang kamu mau, sebagai pengganti bulan kalau kamu memang
senang mendengarnya bercerita.”
“Aku mau cerita tentang
perempuan itu.”
“Tentang bulan?”
Aku mengangguk.
“Asal, jangan diulangi
lagi perbuatanmu semalam.”
Namun, tidak bertahan
lama, aku pergi merangkak lagi ke luar kamar dari jendela untuk mendengarkan
perempuan itu bercerita. Aku lalu bergegas kembali setelah ceritanya selesai
dan kantukku tidak tertahankan lagi, apalagi bila dia mulai melantunkan lagu
sebelum tidur. Lagu yang biasa kudengar dari Ayah, meski suara Ayah tidak
semerdu suaranya memang.
“Maaf bulan, aku harus
segera kembali. Aku takut Ayah marah lagi, dan aku juga takut raksasa memangsaku dari dalam perutku.”
“Aku akan melindungimu,
Lita.”
“Ayah bilang angin
malam adalah raksasa yang begitu benci kepadamu, aku ragu mereka akan mengambil
banyak cara untuk memangsaku, meski kamu yang melindungiku.”
“Aku akan selalu
melindungimu. Buktinya kamu bisa sebesar ini sekarang.”
“Itu karena Ayah . . .
.”
Perempuan itu memelukku
dan aku tertidur di sana. Untungnya dia membangunkanku tepat sebelum matahari
terbit. Menyuruhku untuk bergegas kembali ke kamar. Beberapa malam pun berlalu
seperti itu sampai kemudian Ayah masuk ke kamar dan melihatku bergetar
menggigil.
Kalau kamu tahu rasanya
menyakitkan sekali. Aku merasa kedinginan meskipun badanku justru kepanasan.
Kata Ayah, mereka sudah masuk ke dalam badanku dan sedang berpesta di sana
sampai suhuku meningkat. Ayah lalu membawaku ke rumah sakit. Di sana, ada
seorang malaikat yang mampu mengusir raksasa itu dan membuatnya berhenti
berpesta pora. Dengan syarat, aku hanya disuruhnya menahan sakit sesaat, ketika
malaikat itu menyengat raksasa itu dengan semacam cairan, membuat mereka semua
hanyut sembari memadamkan api pesta.
“Dan kamu,” kata Ayah
lagi,
“mesti minum obat yang
diberi tadi supaya sisa-sisa tubuh mereka yang tersisa benar-benar musnah.”
Aku mengangguk.
“Jangan memberi umpan
lagi kepada para raksasa. Kamu sudah pernah merasakan betapa sakitnya, bukan?”
Aku mengangguk lagi.
“Tidak akan Ayah, aku
juga jadi benci mereka sekarang.”
**
“Kamu bilang, kamu akan
melindungiku.”
“Aku memang
melindungimu, Lita.”
“Bagaimana bisa mereka
masuk, padahal cahayamu adalah hal yang mereka takutkan?”
“Ada tempat yang tidak
bisa dimasuki cahayaku.”
“Apa itu goa-goa
terpencil, hutan-hutan terliar, dan laut-laut terdalam seperti kata Ayah?”
“Bukan hanya itu.”
“Bukan hanya itu?”
“Bagaimana bisa aku
masuk ke dalam sini? telunjuknya mengarah ke dadaku.”
“Benar juga, bagaimana
bisa ya? Mungkin dari lubang telingaku, atau hidungku, atau bisa saja dari
mulut ketika aku mengantuk. Bukannya aku menguap melulu kalau sudah begitu?”
“Coba buka mulutmu.”
“Aaaaaaaaaa, hahahaaa,
geli!”
Dia menggelitikku.
**
“Apa yang terjadi
dengannya, Ayah. Dia menghilang hari ini.”
“Dia sedang diganggu
oleh raksasa,” Ayah mulai menerangkan sambil merangkulku di tempat tidur.
“Seharusnya raksasa
tidak bisa mendekati dia. Bukankah raksasa takut pada cahayanya?”
“Kamu lupa ya, seperti
angin malam, beberapa raksasa yang menyimpan nafsu jahat memendam rasa benci
mereka begitu dalam, yang justru membuat mereka terus menerus bertambah kuat
dan kebal terhadap cahayanya.”
“Selain mereka juga
mengetahui, bahwa bulan itu tidak lain adalah seorang perempuan, seorang
manusia yang masih memiliki hati, yang bisa satu saat kuat dan satu saat lain
lemah.”
“Saat lemah itulah,
raksasa berbondong-bondong memangsanya. Ada yang memegang kedua tangannya. Ada
yang memegang kakinya. Yang lain menjilatinya. Yang lainnya lagi menindihnya.”
“Jahat sekali mereka.
Aku takut.”
“Mereka juga jauh lebih
jahat. Mereka kejam. Mereka masukkan banyak ular ke dalam tubuhnya. Sampai bisa
ular-ular tersebut menggerogotinya sedikit demi sedikit sampai bagian tubuh itu
kehilangan cahayanya. Mereka lantas tertawa terkekeh-kekeh, merasakan
kemenangan atas perempuan itu.”
“Mengerikan sekali, apa
yang bisa kita lakukan, Yah? Kita harus membantunya.”
“Tidak ada.”
“Tidak ada?”
“Iya.”
“Diam saja?”
“Iya.”
“Dia kesakitan, Yah.”
“Biarkan.”
“Dia bisa mengatasinya
sendiri. Nanti, ketika raksasa-raksasa itu lengah karena kemenangan mereka,
kelak mereka akan binasa dengan sendirinya. Masyarakat langit turun tangan
membantu perempuan itu, menjatuhkan hujan bintang-bintang yang melumerkan tubuh
mereka, dan mungkin yang selamat hanya segelintirnya.”
“Perempuan itu lalu
bagaimana keadaannya?”
“Mereka membantunya.
Malaikat pun ikut turun tangan menyembuhkan luka-lukanya, hingga menjadi tidak
ada luka sama sekali. Dan bisa kembali menyinari manusia di waktu malam seperti
biasanya.”
“Juga untuk menemuiku?”
Ayah memandangku lama.
“Iya.”
Sebenarnya aku ingin
tetap bertanya, namun melihat wajah Ayah yang mendadak berubah, kuurungkan
niatku itu.
**
“Aku khawatir sama
keadaanmu.”
Perempuan itu
mengangguk. Tersenyum.
“Tidak apa-apa, tidak
ada yang perlu dikhawatirkan. Buktinya aku bisa menemuimu sekarang.”
“Aku takut mendengar
cerita Ayah kemarin.”
“Cerita tentang apa?”
“Tentang
raksasa-raksasa yang berbuat jahat kepadamu. Aku takut sekaligus benci mereka.
Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Kamu pasti terbayang
bagaimana keadaanku saat itu ya?”
“Iya, dan aku tidak mau
membayangkannya lagi. Ceritakan aku tentang hal-hal lain saja.”
**
“Ayah, siapa nama
perempuan itu?”
“Perempuan yang mana?”
“Perempuan yang menjadi
bulan.”
“Tidak tahu.”
“Masa tidak tahu?”
“Tidak tahu.”
“Aku mau tanya benar
apa tidak, nama yang diberitahu perempuan itu kemarin.”
“Oh iya, memangnya
perempuan itu namanya siapa?”
**
“Aku ingin tahu namamu,
kita sudah lama berkenalan tapi kamu tidak pernah menyebutkan namamu.”
“Menurutmu siapa
namaku, Lita?”
“Aku tidak tahu.”
“Kalau kuberitahu?”
“Aku mau.”
**
“Sebelum dia berdoa dan
bertemu malaikat yang akan melepaskan tubuh manusianya menjadi bulan, perempuan
itu pergi diam-diam meninggalkan seorang gadis kecil yang saat itu sedang
tertidur nyenyak di gubuknya.
“Kenapa dia
meninggalkannya, Yah?”
“Belum selesai Lita.
Dia melakukan itu karena tubuh manusianya sudah tidak mampu lagi menghadapi
para raksasa kelaparan yang terus berusaha memangsanya. Dia sudah terluka
parah. Makanya, dia memohon kepada malaikat untuk mengubah dirinya menjadi
sosok yang kuat. Sosok yang bisa terus melindungi gadis kecil itu dari serangan
para raksasa.”
“Dia berubah menjadi
bulan.”
“Seperti yang kamu
lihat sekarang ini.”
“Tapi Yah, kenapa aku
merasa ada kesamaan antara aku dan dia.”
“Apa itu?”
“Mata kami sama-sama
sipit.”
“Dan kamu, sama-sama
seputih putri salju.”
“Dari mana Ayah tahu?
Ayah kan tidak pernah lihat perempuan itu secara langsung.”
Ayah diam. Lalu
tersenyum. Mendadak aku melihat pelangi di wajahnya.
***
had... buat sendiri??? bagus had... kirim majalah lah...
BalasHapus