Minggu, 07 Desember 2014

Jonathan Livingston Camar dan Tiya, Tentang Dua Burung yang Mengembara

Sudah lama aku tidak menulis referensi buku lagi kepadamu. Jujur saja, ada satu buku yang sekarang begitu menarik perhatian dan juga waktuku. Nanti, kalau sudah selesai, akan kutulis tentangnya. Untuk sekarang, bagaimana kalau aku bercerita tentang perjalanan mencari jati diri.
Perjalanan mencari jati diri mungkin bisa kamu samakan dengan perjalanan mencari kitab suci dari negeri seberang, tentang seorang biksu dan murid-muridnya yang pergi ke timur. Cerita dari buku kali ini memang sedikit banyak memiliki pola yang sama, hanya tanpa biksu, murid, dan silumannya.
Ada dua buku yang menceritakan itu, dalam bentuk fabel yang pasti kamu suka. Pertama judulnya Jonathan Livingston Camar dan kedua berjudul Tiya.
Jonathan Livingston Camar merupakan sebuah novel karangan Richard Bach, yang bercerita tentang kehidupan seekor burung camar bernama Jonathan Livingston. Jonathan mempunyai kebiasaan yang membuatnya dijauhi dan dibenci kawanannya. Dia selalu menyendiri dan enggan melakukan apa yang dilakukan kawanannya, seperti terbang pada pagi hari mencari ikan atau serpihan roti dari kapal-kapal nelayan yang merapat di dermaga dan pulang ketika sore menjelang. Dia tidak. Dia malah berpendapat terbang ya untuk terbang. Sesederhana itu.
Tiap hari yang dilakukannya hanyalah terbang, sesekali bila lapar benar-benar tidak bisa ditahannya lagi, baru dia mencari ikan di laut. Keahlian terbangnya kemudian di atas kemampuan kawanannya. Dia bisa melakukan manuver menukik, berputar, dan gerakan-gerakan lain dengan kecepatan tinggi atau lambat. Sampai, dia nekat melakukan satu ide gila yang terlintas di kepalanya. Dia ingin terbang ke langit. Terus ke langit.
Awalnya dia tidak bisa melakukannya, keahlian terbangnya masih jauh dari cukup untuk terbang ke langit. Namun, pada akhirnya, dia bisa melakukannya, berkat bantuan burung camar lain yang tiba-tiba turun dari langit dan membantunya terbang menuju ke sana. Takjub, tentu. Burung-burung itu bercahaya dan sanggup melakukan manuver-manuver sulit yang tidak bisa dilakukannya. Tidak hanya itu. Di atas langit, dia menemukan daratan lain, yang awalnya dia anggap sebagai surga.
Di daratan itu, burung-burung seperti dirinya berlatih bersama-sama mengasah keahlian terbangnya. Sampai bisa terbang ke langit yang lebih tinggi lagi dan mempunyai keahlian terbang tertinggi seekor burung. Terbang secepat pikiran.
Buku kedua masih bercerita tentang seekor burung. Hanya saja Tiya adalah seekor burung beo ciptaan Samarpan, yang memiliki sifat sama seperti Jonathan, suka menyendiri dan merenung. Dia tidak mau bergabung dengan teman-temannya yang suka berceloteh sambil mencari cacing. Dia lebih suka merenung dan merenung, hingga teman-temannya menyebutnya si pemalas.
Sampai satu ketika dia pergi meninggalkan pohon beringin tuanya dan melakukan perjalanan besar yang panjang, karena sebuah bisikan.
Tiya, kau lebih dari yang kau pikirkan. Kau bisa meraih jauh lebih banyak dari yang bisa kau pikirkan saat ini.
Di perjalanan itu dia menemukan banyak hal dan makhluk aneh di tiap daratan yang disinggahinya. Seperti makhluk bangsa Fay yang begitu baik dan menjunjung cinta kasih kepada sesamanya, namun di dalam tubuh mereka, terdapat silet di ujung jari tangannya. Sehingga ketika mereka berpelukan atau berjabat tangan, masing-masing tubuh Fay akan terluka dan berdarah. Lalu ada makhluk setengah arca setengah manusia yang disebut Zary, yang gemar memaki dan meludahi satu sama lain, dikarenakan hal yang begitu sepele dan memancing emosi mereka. Bahkan ada makhluk berhidung panjang dengan kehormatan yang begitu tinggi bernama Dingding. Saking menjaga kehormatan masing-masing, mereka justru saling menjatuhkan sesamanya, tidak jarang adu kekuatan dilakukan sampai salah satu mengaku kalah (yang tidak akan mungkin terjadi).
Tiya tidak sendiri dalam melakukan perjalanan panjangnya itu, dia ditemani suara misterius yang menamakan dirinya Hans. Melalui nasihat-nasihatnya, Tiya mampu melewati daratan satu ke daratan lain tanpa perlu terperangkap lebih jauh ke dalam masalah yang dialami makhluk-makhluk di sana.
Perjalanan itu akhirnya berakhir di pohon beringin tuanya. Perjalanan yang akhirnya mengubah segalanya, termasuk hidupnya. Dia memiliki banyak pengalaman dibandingkan teman-temannya yang tidak pergi dari pohon tersebut.
Memang perjalanan mencari jati diri tidak semudah membaca cerita di kedua buku itu. Aku sendiri pun masih melakukannya, sesekali berhenti karena tidak berdayanya niatku di hadapan rutinitas yang membosankan. Jati diri, seperti apa sebenarnya. Pola yang dimunculkan oleh kedua buku itu sama, pergi ke luar dari zona nyaman. Sulit, tentu. Aku sendiri masih terjebak di dalamnya.
Dan caraku untuk lepas, salah satunya, dengan menuliskan cerita ini kepadamu. Seakan tidak berarti bagi orang lain memang, tapi bagiku sendiri cukup berarti. Bukankah, perjalanan tiap orang berbeda, hanya polanya saja yang sama. Apakah mau terbang ke langit seperti Jonathan, atau terbang dari satu daratan ke daratan lain bersama seorang yang kau percaya, seperti Tiya dan Hans?
Aku masih berharap, orang itu adalah kamu.
NB: pola yang sama bisa kamu baca di buku Alchemist nya Paulo Coelho. Sedikit banyak semoga bisa memengaruhimu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar