Sudah lama aku tidak
menulis referensi buku lagi kepadamu. Jujur saja, ada satu buku yang sekarang
begitu menarik perhatian dan juga waktuku. Nanti, kalau sudah selesai, akan
kutulis tentangnya. Untuk sekarang, bagaimana kalau aku bercerita tentang
perjalanan mencari jati diri.
Perjalanan mencari jati
diri mungkin bisa kamu samakan dengan perjalanan mencari kitab suci dari negeri
seberang, tentang seorang biksu dan murid-muridnya yang pergi ke timur. Cerita
dari buku kali ini memang sedikit banyak memiliki pola yang sama, hanya tanpa
biksu, murid, dan silumannya.
Ada dua buku yang
menceritakan itu, dalam bentuk fabel yang pasti kamu suka. Pertama judulnya Jonathan Livingston Camar dan kedua
berjudul Tiya.
Jonathan
Livingston Camar merupakan sebuah novel karangan Richard
Bach, yang bercerita tentang kehidupan seekor burung camar bernama Jonathan
Livingston. Jonathan mempunyai kebiasaan yang membuatnya dijauhi dan dibenci
kawanannya. Dia selalu menyendiri dan enggan melakukan apa yang dilakukan
kawanannya, seperti terbang pada pagi hari mencari ikan atau serpihan roti dari
kapal-kapal nelayan yang merapat di dermaga dan pulang ketika sore menjelang.
Dia tidak. Dia malah berpendapat terbang ya untuk terbang. Sesederhana itu.
Tiap hari yang
dilakukannya hanyalah terbang, sesekali bila lapar benar-benar tidak bisa
ditahannya lagi, baru dia mencari ikan di laut. Keahlian terbangnya kemudian di
atas kemampuan kawanannya. Dia bisa melakukan manuver menukik, berputar, dan
gerakan-gerakan lain dengan kecepatan tinggi atau lambat. Sampai, dia nekat
melakukan satu ide gila yang terlintas di kepalanya. Dia ingin terbang ke
langit. Terus ke langit.
Awalnya dia tidak bisa
melakukannya, keahlian terbangnya masih jauh dari cukup untuk terbang ke
langit. Namun, pada akhirnya, dia bisa melakukannya, berkat bantuan burung
camar lain yang tiba-tiba turun dari langit dan membantunya terbang menuju ke
sana. Takjub, tentu. Burung-burung itu bercahaya dan sanggup melakukan
manuver-manuver sulit yang tidak bisa dilakukannya. Tidak hanya itu. Di atas
langit, dia menemukan daratan lain, yang awalnya dia anggap sebagai surga.
Di daratan itu,
burung-burung seperti dirinya berlatih bersama-sama mengasah keahlian
terbangnya. Sampai bisa terbang ke langit yang lebih tinggi lagi dan mempunyai
keahlian terbang tertinggi seekor burung. Terbang secepat pikiran.
Buku kedua masih
bercerita tentang seekor burung. Hanya saja Tiya adalah seekor burung beo
ciptaan Samarpan, yang memiliki sifat sama seperti Jonathan, suka menyendiri
dan merenung. Dia tidak mau bergabung dengan teman-temannya yang suka
berceloteh sambil mencari cacing. Dia lebih suka merenung dan merenung, hingga
teman-temannya menyebutnya si pemalas.
Sampai satu ketika dia
pergi meninggalkan pohon beringin tuanya dan melakukan perjalanan besar yang
panjang, karena sebuah bisikan.
Tiya,
kau lebih dari yang kau pikirkan. Kau bisa meraih jauh lebih banyak dari yang
bisa kau pikirkan saat ini.
Di perjalanan itu dia
menemukan banyak hal dan makhluk aneh di tiap daratan yang disinggahinya.
Seperti makhluk bangsa Fay yang begitu baik dan menjunjung cinta kasih kepada
sesamanya, namun di dalam tubuh mereka, terdapat silet di ujung jari tangannya.
Sehingga ketika mereka berpelukan atau berjabat tangan, masing-masing tubuh Fay
akan terluka dan berdarah. Lalu ada makhluk setengah arca setengah manusia yang
disebut Zary, yang gemar memaki dan meludahi satu sama lain, dikarenakan hal
yang begitu sepele dan memancing emosi mereka. Bahkan ada makhluk berhidung
panjang dengan kehormatan yang begitu tinggi bernama Dingding. Saking menjaga
kehormatan masing-masing, mereka justru saling menjatuhkan sesamanya, tidak
jarang adu kekuatan dilakukan sampai salah satu mengaku kalah (yang tidak akan
mungkin terjadi).
Tiya tidak sendiri
dalam melakukan perjalanan panjangnya itu, dia ditemani suara misterius yang
menamakan dirinya Hans. Melalui nasihat-nasihatnya, Tiya mampu melewati daratan
satu ke daratan lain tanpa perlu terperangkap lebih jauh ke dalam masalah yang
dialami makhluk-makhluk di sana.
Perjalanan itu akhirnya
berakhir di pohon beringin tuanya. Perjalanan yang akhirnya mengubah segalanya,
termasuk hidupnya. Dia memiliki banyak pengalaman dibandingkan teman-temannya
yang tidak pergi dari pohon tersebut.
Memang perjalanan
mencari jati diri tidak semudah membaca cerita di kedua buku itu. Aku sendiri
pun masih melakukannya, sesekali berhenti karena tidak berdayanya niatku di
hadapan rutinitas yang membosankan. Jati diri, seperti apa sebenarnya. Pola
yang dimunculkan oleh kedua buku itu sama, pergi ke luar dari zona nyaman.
Sulit, tentu. Aku sendiri masih terjebak di dalamnya.
Dan caraku untuk lepas,
salah satunya, dengan menuliskan cerita ini kepadamu. Seakan tidak berarti bagi
orang lain memang, tapi bagiku sendiri cukup berarti. Bukankah, perjalanan tiap
orang berbeda, hanya polanya saja yang sama. Apakah mau terbang ke langit
seperti Jonathan, atau terbang dari satu daratan ke daratan lain bersama
seorang yang kau percaya, seperti Tiya dan Hans?
Aku masih berharap,
orang itu adalah kamu.
NB: pola yang sama bisa
kamu baca di buku Alchemist nya Paulo
Coelho. Sedikit banyak semoga bisa memengaruhimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar