Sudah berapa hari cuaca
di sini mendung hujan dan mendung hujan lagi, sampai aku tidak tahu kapan waktu
yang tepat untuk mencuci dan menjemur baju yang mulai menjamur ini. Kalau kau
berada di sini, mungkin kau akan memarahiku setelah melihat tumpukan baju di
sudut kamarku itu. Mau bagaimana lagi, cuacanya tidak mendukung.
Beberapa hari yang lalu
di saat mendung kemudian hujan disertai petir itu, aku jadi teringat sebuah
cerita yang berhubungan dengan petir. Kebetulan cerita ini dikarang oleh
pengarang kesukaanmu, Lita. Nama bukunya Petir,
karangan Dewi Lestari. Mungkin aku sudah pernah bercerita betapa aku menyenangi
serial Supernova pada seri yang pertamanya, kemudian aku kecewa karena dahaga
yang ditimbulkan oleh seri pertamanya tidak dapat dipenuhi di buku yang kedua, Akar. Tidak apa, katamu waktu itu,
mungkin di seri selanjutnya dahagamu akan terpenuhi. Sebenarnya aku sulit
mengatakannya, tapi untuk kedua kalinya, dahagaku sama sekali tidak terpenuhi.
Cerita Petir dimulai dari gambaran pasangan
sejenis yang pertama kali menciptakan badai serotonin di dalam pikiranku,
Dhimas dan Rhuben. Setelah bertahun-tahun novel pertama mereka rilis dan
mengalami kebuntuan jalan cerita selanjutnya, mereka akhinya menemukan sebuah
ilham. Ceritanya sendiri kemudian berputar pada seorang anak perempuan
keturunan Tionghoa bernama Elektra. Dia dinamakan demikian karena ayahnya
seorang ahli elektronik sehingga ketertarikannya pada listrik menginspirasinya
untuk memberi nama demikian. Mungkin dari sini kamu sudah mulai mengerutkan
alismu, terkesan dipaksakan bukan kalau melihat Etra, nama panggilannya,
tinggal di kota Bandung dengan sosial budaya yang tidak pas rasanya ada nama
ilmiah yang asing seperti itu. Itu persoalan pertama. Setelah ditinggal mati
ayahnya Etra dan saudari kandungnya, Watti, mulai menempuh jalan hidup
masing-masing. Watti ikut suaminya yang muslim (Watti sendiri menjadi mualaf)
ke dataran Papua di Freeport sedangkan Etra luntang-lantung mencari pekerjaan
karena dia mulai menyadari tidak bisa bertahan hidup dari warisan yang
ditinggalkan ayahnya. Dia mulai ikut kegiatan Multi Level Marketing tapi gagal
sampai dia juga secara sadar tidak sadar karena putus asa tidak dapat
pekerjaan, mengisi lamaran kerja ke dunia gaib. Perjalanan Etra mencari
pekerjaan ini membawanya ke sebuah rumah tempat seorang yogi bernama Ibu Sati
berada.
Perjalanan Etra pun
sesungguhnya dimulai dari sana.
Etra mulai mengenal
teknologi internet, mulai mengenal teman-teman baru yang akan memperkenalkannya
pada dunia warnet, kemudian berkembang menjadi usaha warnet milik sendiri
setelah mendapat bantuan dari seorang bernama Mpret. Hampir setengah buku
menceritakan hal itu.
Lantas, di mana
hubungannya dengan petir itu berada? Mungkin kau akan berkata tidak sabaran.
Waktu Etra kecil dia pernah tersambar petir. Kejadian tersebut menimbulkan
kelainan di dalam dirinya. Dia jadi bisa menghasilkan atau mengalirkan listrik.
Aku rasa kau mulai mengernyitkan dahi sekarang. Terasa seperti cerita fiksi di
komik-komik atau serial fantasi di televisi. Dia kemudian berlatih bersama Ibu
Sati untuk mengendalikan kemampuannya itu dan mengaplikasikannya ke dalam
kegiatan positif, seperti menyembuhkan orang lain.
Seperti sudah kubilang
sebelumnya, cerita Petir sama sekali
tidak memuaskan dahagaku akan seri pertamanya. Ceritanya yang begitu menyimpang
dan jauh dari ekspektasiku membuat kekecewaan menjadi sebuah ending yang tidak
bisa terelakkan ketika selesai membaca halaman terakhirnya. Memang ceritanya
tidak melulu membicarakan masalah Etra yang seperti cerita picisan itu. Dia
juga berbicara tentang toleransi antarumat beragama, yang ditunjukkan dari
keberagaman penghuni yang muncul di dalam warnet Etra. Aku rasa aku perlu
mengangkat topi untuk bagian ini, di saat kondisi sekarang yang kita tahu Lita,
rasa toleransi demikian menjadi suatu barang langka yang mesti dijaga di saat
serbuan kebencian merebak di kalangan masyarakat yang mengaku beragama.
Selain itu, aku rasa
tidak ada lagi yang patut aku ceritakan kepadamu. Terlampau banyak kekecewaan
karena aku tidak menemukan kedalaman materi seperti yang diceritakan di seri
pertama. Mungkin bagi mereka yang baru tertarik membaca sastra dan sedang
mencoba beralih dari cerita populer ke sastra, buku ini bisa dijadikan acuan
agar terbiasa, karena bahasa yang digunakannya Lita, asal kau tahu, tidak
seberat seperti pada seri pertama di mana aku sangat menikmatinya.
Suatu saat, ada kalanya
kau pun perlu membacanya sendiri agar tahu seperti apa dahaga yang aku rasakan
dan tidak terpuaskan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar