Selasa, 06 Desember 2016

Supernova Petir Dewi Lestari, Cerita tentang Seorang yang Memiliki Kemampuan Ajaib Setelah Tersambar Petir

Sudah berapa hari cuaca di sini mendung hujan dan mendung hujan lagi, sampai aku tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk mencuci dan menjemur baju yang mulai menjamur ini. Kalau kau berada di sini, mungkin kau akan memarahiku setelah melihat tumpukan baju di sudut kamarku itu. Mau bagaimana lagi, cuacanya tidak mendukung.
Beberapa hari yang lalu di saat mendung kemudian hujan disertai petir itu, aku jadi teringat sebuah cerita yang berhubungan dengan petir. Kebetulan cerita ini dikarang oleh pengarang kesukaanmu, Lita. Nama bukunya Petir, karangan Dewi Lestari. Mungkin aku sudah pernah bercerita betapa aku menyenangi serial Supernova pada seri yang pertamanya, kemudian aku kecewa karena dahaga yang ditimbulkan oleh seri pertamanya tidak dapat dipenuhi di buku yang kedua, Akar. Tidak apa, katamu waktu itu, mungkin di seri selanjutnya dahagamu akan terpenuhi. Sebenarnya aku sulit mengatakannya, tapi untuk kedua kalinya, dahagaku sama sekali tidak terpenuhi.
Cerita Petir dimulai dari gambaran pasangan sejenis yang pertama kali menciptakan badai serotonin di dalam pikiranku, Dhimas dan Rhuben. Setelah bertahun-tahun novel pertama mereka rilis dan mengalami kebuntuan jalan cerita selanjutnya, mereka akhinya menemukan sebuah ilham. Ceritanya sendiri kemudian berputar pada seorang anak perempuan keturunan Tionghoa bernama Elektra. Dia dinamakan demikian karena ayahnya seorang ahli elektronik sehingga ketertarikannya pada listrik menginspirasinya untuk memberi nama demikian. Mungkin dari sini kamu sudah mulai mengerutkan alismu, terkesan dipaksakan bukan kalau melihat Etra, nama panggilannya, tinggal di kota Bandung dengan sosial budaya yang tidak pas rasanya ada nama ilmiah yang asing seperti itu. Itu persoalan pertama. Setelah ditinggal mati ayahnya Etra dan saudari kandungnya, Watti, mulai menempuh jalan hidup masing-masing. Watti ikut suaminya yang muslim (Watti sendiri menjadi mualaf) ke dataran Papua di Freeport sedangkan Etra luntang-lantung mencari pekerjaan karena dia mulai menyadari tidak bisa bertahan hidup dari warisan yang ditinggalkan ayahnya. Dia mulai ikut kegiatan Multi Level Marketing tapi gagal sampai dia juga secara sadar tidak sadar karena putus asa tidak dapat pekerjaan, mengisi lamaran kerja ke dunia gaib. Perjalanan Etra mencari pekerjaan ini membawanya ke sebuah rumah tempat seorang yogi bernama Ibu Sati berada.
Perjalanan Etra pun sesungguhnya dimulai dari sana.
Etra mulai mengenal teknologi internet, mulai mengenal teman-teman baru yang akan memperkenalkannya pada dunia warnet, kemudian berkembang menjadi usaha warnet milik sendiri setelah mendapat bantuan dari seorang bernama Mpret. Hampir setengah buku menceritakan hal itu.
Lantas, di mana hubungannya dengan petir itu berada? Mungkin kau akan berkata tidak sabaran. Waktu Etra kecil dia pernah tersambar petir. Kejadian tersebut menimbulkan kelainan di dalam dirinya. Dia jadi bisa menghasilkan atau mengalirkan listrik. Aku rasa kau mulai mengernyitkan dahi sekarang. Terasa seperti cerita fiksi di komik-komik atau serial fantasi di televisi. Dia kemudian berlatih bersama Ibu Sati untuk mengendalikan kemampuannya itu dan mengaplikasikannya ke dalam kegiatan positif, seperti menyembuhkan orang lain.
Seperti sudah kubilang sebelumnya, cerita Petir sama sekali tidak memuaskan dahagaku akan seri pertamanya. Ceritanya yang begitu menyimpang dan jauh dari ekspektasiku membuat kekecewaan menjadi sebuah ending yang tidak bisa terelakkan ketika selesai membaca halaman terakhirnya. Memang ceritanya tidak melulu membicarakan masalah Etra yang seperti cerita picisan itu. Dia juga berbicara tentang toleransi antarumat beragama, yang ditunjukkan dari keberagaman penghuni yang muncul di dalam warnet Etra. Aku rasa aku perlu mengangkat topi untuk bagian ini, di saat kondisi sekarang yang kita tahu Lita, rasa toleransi demikian menjadi suatu barang langka yang mesti dijaga di saat serbuan kebencian merebak di kalangan masyarakat yang mengaku beragama.
Selain itu, aku rasa tidak ada lagi yang patut aku ceritakan kepadamu. Terlampau banyak kekecewaan karena aku tidak menemukan kedalaman materi seperti yang diceritakan di seri pertama. Mungkin bagi mereka yang baru tertarik membaca sastra dan sedang mencoba beralih dari cerita populer ke sastra, buku ini bisa dijadikan acuan agar terbiasa, karena bahasa yang digunakannya Lita, asal kau tahu, tidak seberat seperti pada seri pertama di mana aku sangat menikmatinya.
Suatu saat, ada kalanya kau pun perlu membacanya sendiri agar tahu seperti apa dahaga yang aku rasakan dan tidak terpuaskan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar