Maaf, Lita, sudah
berapa minggu ini aku tidak lagi mengirim surat kepadamu. Sebab aku sibuk.
Sibuk membaca sebuah buku. Buku yang kupikir, memberitahu sudut pandang lain
tentang sebuah konflik yang mendera Indonesia bagian timur, tepatnya di Ambon,
Maluku. Kamu pasti tahu, konflik horizontal atas dasar perbedaan keyakinan
tersebut berlangsung hampir 5 tahun lebih, dari tahun 1999-2004. Ya, kita masih
begitu muda saat konflik itu terjadi, hingga kita mungkin tidak menyadari dan
melewatkannya begitu saja, dengan situasi dimabuk asmara masa-masa kita di
sekolah.
Buku itu ditulis oleh
seorang aktivis perempuan. Ratna Sarumpaet. Kamu pasti sudah mengenalnya, sebab
salah satu karyanya, Jamila dan Sang
Presiden, adalah drama favoritmu. Judulnya adalah Maluku Kobaran Cintaku. Dari judul saja sudah begitu tersurat, apa
kira-kira isi novel tersebut.
Secara keseluruhan buku
itu bercerita tentang dua keluarga besar, masing-masing beda keyakinan, yang
pada awalnya hidup damai, rukun, saling berdampingan, namun menjadi renggang
ketika konflik horizontal di Ambon, Maluku, pecah. Situasi semakin memanas,
ketika tetua dari salah satu keluarga tersebut, yang juga tokoh masyarakat, tewas
terbunuh di rumah ibadahnya karena ledakan bom. Situasi itu juga, yang semakin
memperburuk kisah kasih dua sejoli dari kedua keluarga tersebut, Mey dan Ali.
Lantas, apa yang
membuatku terpaku bukan pada kisah tokoh-tokoh di sana, Lita. Penceritaan yang
buruk oleh Ratna mengacaukan semuanya. Seperti membaca sebuah catatan atas
peristiwa-peristiwa tertentu dengan gaya cerita novel yang nanggung dan tidak
dibungkus dalam bentuk sastra yang apik. Kamu pasti tahu maksudku sastra yang
apik seperti apa. Ditambah kesalahan penulisan seperti typo di mana-mana. Ah, kamu mesti sabar membacanya. Sabar sekali.
Yang membuatku terpaku
adalah adanya sebuah pola. Pola yang muncul ketika konflik itu terjadi. Ini
menurut tafsiranku saja atas buku itu dengan menariknya keluar ke keadaan
sekarang. Keadaan yang seakan, kita, sedang dialihkan perhatiannya kepada
masalah-masalah internal dalam masyarakat sendiri, ketika di luar sana, sumber
daya alam kita itu, justru sedang dinikmati oleh pihak-pihak yang menguntungkan
dirinya sendiri.
Di buku itu,
diceritakan bahwa ada kelompok-kelompok tak dikenal, yang menyerang tokoh-tokoh
beda keyakinan itu di tempat yang terpisah. Memakai baju hitam-hitam dan ikat
kepala merah. Simbol yang kemudian aku tahu bahwa mereka merujuk pada suatu
kelompok yang diduga melakukan Kristenisasi di Maluku. Entah benar apa tidak
kebenaran informasi ini. Dan Ratna menafsirkannya sebagai preman. Preman-preman
yang terbuang semenjak demokrasi mulai menancapkan kedudukannya di Indonesia
ini, menggantikan orde baru yang berkuasa lebih dari 7 periode itu.
Preman-preman yang aku kira, sebagai pengendali, kontrol atas masyarakat.
Bukankah, kita mengalami pemerintahan teror saat orde baru? Kamu berpendapat
keras, keesokan harinya bisa menghilang dari muka bumi. Syukur kalau masih
ditemukan di sungai-sungai dalam bentuk mayat yang mengapung, bila tidak,
seperti Wiji Tukul bukan?
Ketika mereka tidak
punya tempat untuk melakukan ‘tugasnya’ itu, pemerintah seperti ‘membuangnya’
ke daerah Ambon, Maluku, tempat di mana undang-undang kelautan menghasilkan
protes ketika diberlakukan. Protes yang begitu vokal. Lebih vokal dibandingkan ketika
peraturan yang memonopoli cengkeh di Maluku sebelumnya diterapkan. Seakan
pembuangan preman-preman itu agar masyarakat diam dan sibuk dengan masalah
lain. Caranya, dengan menciptakan konflik horizontal itu.
Ini hanya penafsiran
saja. Penafsiran berbeda yang memberi sudut pandang baru atas konflik yang
terjadi di tanah Maluku. Kamu tentu bisa memberi penafsiran lain nantinya
ketika membaca buku itu.
Lebih jauh lagi ketika
kutarik pola tersebut, semakin aku khawatir. Pola konflik ini kurasakan seperti
sedang dijalankan juga saat ini. Kamu tahu, di berbagai daerah-daerah Indonesia
sekarang muncul gerakan orang-orang yang mengatasnamakan Islam dan ingin
mendirikan negara atas dasar syariat Islam. Mereka menyebutnya khilafah. Dan
apa yang mereka lakukan adalah menyebar benih-benih kebencian. Benci kepada
pemerintah. Benci kepada demokrasi. Benci kepada NKRI. Lebih lanjut lagi, benci
kepada lain agama maupun kepada yang sama.
Kalau kamu melihat
berita di televisi beberapa hari ini, hal yang sama juga terjadi di Jakarta.
Kelompok yang menamakan dirinya front pembela islam itu melakukan demo
penolakan gubernur Basuki Cahya Purnama atau Ahok karena latar belakang
agamanya yang berbeda. Lihat, betapa mudah mereka disulut oleh isu-isu agama
atau keyakinan. Padahal apa yang seharusnya dilihat bukanlah agama atau
keyakinannya, melainkan hasil kerjanya. Seperti kita dihadapkan pada dua buah
pilihan, mendingan mana, dipimpin orang yang agamanya sama tapi kerjanya tidak
benar, atau dipimpin orang yang kerjanya benar tapi agamanya beda?
Bukankah, secara
tersirat terlihat pola yang sama? Pola yang membuat kita saling membenci, memusuhi,
menyerang satu sama lain, karena beda keyakinan, sedangkan di luar sana, sumber
daya alam yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya demi masyarakat
Indonesia menjadi tidak terurus bangsa sendiri, malah bangsa asing yang
menikmatinya. Sampai kapan mereka bisa menyadari, kita-kita ini, bahwa
sebenarnya pola yang sama di Maluku sedang terjadi?
Aku ingin tahu
pendapatmu, Lita. Tidak tahu lagi aku harus mengingatkan mereka seperti apa.
Karena aku benar-benar
sendiri dalam hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar