Selasa, 11 November 2014

Ratna Sarumpaet, Maluku Kobaran Cintaku, dan Sebuah Pola Konflik

Maaf, Lita, sudah berapa minggu ini aku tidak lagi mengirim surat kepadamu. Sebab aku sibuk. Sibuk membaca sebuah buku. Buku yang kupikir, memberitahu sudut pandang lain tentang sebuah konflik yang mendera Indonesia bagian timur, tepatnya di Ambon, Maluku. Kamu pasti tahu, konflik horizontal atas dasar perbedaan keyakinan tersebut berlangsung hampir 5 tahun lebih, dari tahun 1999-2004. Ya, kita masih begitu muda saat konflik itu terjadi, hingga kita mungkin tidak menyadari dan melewatkannya begitu saja, dengan situasi dimabuk asmara masa-masa kita di sekolah.
Buku itu ditulis oleh seorang aktivis perempuan. Ratna Sarumpaet. Kamu pasti sudah mengenalnya, sebab salah satu karyanya, Jamila dan Sang Presiden, adalah drama favoritmu. Judulnya adalah Maluku Kobaran Cintaku. Dari judul saja sudah begitu tersurat, apa kira-kira isi novel tersebut.
Secara keseluruhan buku itu bercerita tentang dua keluarga besar, masing-masing beda keyakinan, yang pada awalnya hidup damai, rukun, saling berdampingan, namun menjadi renggang ketika konflik horizontal di Ambon, Maluku, pecah. Situasi semakin memanas, ketika tetua dari salah satu keluarga tersebut, yang juga tokoh masyarakat, tewas terbunuh di rumah ibadahnya karena ledakan bom. Situasi itu juga, yang semakin memperburuk kisah kasih dua sejoli dari kedua keluarga tersebut, Mey dan Ali.
Lantas, apa yang membuatku terpaku bukan pada kisah tokoh-tokoh di sana, Lita. Penceritaan yang buruk oleh Ratna mengacaukan semuanya. Seperti membaca sebuah catatan atas peristiwa-peristiwa tertentu dengan gaya cerita novel yang nanggung dan tidak dibungkus dalam bentuk sastra yang apik. Kamu pasti tahu maksudku sastra yang apik seperti apa. Ditambah kesalahan penulisan seperti typo di mana-mana. Ah, kamu mesti sabar membacanya. Sabar sekali.
Yang membuatku terpaku adalah adanya sebuah pola. Pola yang muncul ketika konflik itu terjadi. Ini menurut tafsiranku saja atas buku itu dengan menariknya keluar ke keadaan sekarang. Keadaan yang seakan, kita, sedang dialihkan perhatiannya kepada masalah-masalah internal dalam masyarakat sendiri, ketika di luar sana, sumber daya alam kita itu, justru sedang dinikmati oleh pihak-pihak yang menguntungkan dirinya sendiri.
Di buku itu, diceritakan bahwa ada kelompok-kelompok tak dikenal, yang menyerang tokoh-tokoh beda keyakinan itu di tempat yang terpisah. Memakai baju hitam-hitam dan ikat kepala merah. Simbol yang kemudian aku tahu bahwa mereka merujuk pada suatu kelompok yang diduga melakukan Kristenisasi di Maluku. Entah benar apa tidak kebenaran informasi ini. Dan Ratna menafsirkannya sebagai preman. Preman-preman yang terbuang semenjak demokrasi mulai menancapkan kedudukannya di Indonesia ini, menggantikan orde baru yang berkuasa lebih dari 7 periode itu. Preman-preman yang aku kira, sebagai pengendali, kontrol atas masyarakat. Bukankah, kita mengalami pemerintahan teror saat orde baru? Kamu berpendapat keras, keesokan harinya bisa menghilang dari muka bumi. Syukur kalau masih ditemukan di sungai-sungai dalam bentuk mayat yang mengapung, bila tidak, seperti Wiji Tukul bukan?
Ketika mereka tidak punya tempat untuk melakukan ‘tugasnya’ itu, pemerintah seperti ‘membuangnya’ ke daerah Ambon, Maluku, tempat di mana undang-undang kelautan menghasilkan protes ketika diberlakukan. Protes yang begitu vokal. Lebih vokal dibandingkan ketika peraturan yang memonopoli cengkeh di Maluku sebelumnya diterapkan. Seakan pembuangan preman-preman itu agar masyarakat diam dan sibuk dengan masalah lain. Caranya, dengan menciptakan konflik horizontal itu.
Ini hanya penafsiran saja. Penafsiran berbeda yang memberi sudut pandang baru atas konflik yang terjadi di tanah Maluku. Kamu tentu bisa memberi penafsiran lain nantinya ketika membaca buku itu.
Lebih jauh lagi ketika kutarik pola tersebut, semakin aku khawatir. Pola konflik ini kurasakan seperti sedang dijalankan juga saat ini. Kamu tahu, di berbagai daerah-daerah Indonesia sekarang muncul gerakan orang-orang yang mengatasnamakan Islam dan ingin mendirikan negara atas dasar syariat Islam. Mereka menyebutnya khilafah. Dan apa yang mereka lakukan adalah menyebar benih-benih kebencian. Benci kepada pemerintah. Benci kepada demokrasi. Benci kepada NKRI. Lebih lanjut lagi, benci kepada lain agama maupun kepada yang sama.
Kalau kamu melihat berita di televisi beberapa hari ini, hal yang sama juga terjadi di Jakarta. Kelompok yang menamakan dirinya front pembela islam itu melakukan demo penolakan gubernur Basuki Cahya Purnama atau Ahok karena latar belakang agamanya yang berbeda. Lihat, betapa mudah mereka disulut oleh isu-isu agama atau keyakinan. Padahal apa yang seharusnya dilihat bukanlah agama atau keyakinannya, melainkan hasil kerjanya. Seperti kita dihadapkan pada dua buah pilihan, mendingan mana, dipimpin orang yang agamanya sama tapi kerjanya tidak benar, atau dipimpin orang yang kerjanya benar tapi agamanya beda?
Bukankah, secara tersirat terlihat pola yang sama? Pola yang membuat kita saling membenci, memusuhi, menyerang satu sama lain, karena beda keyakinan, sedangkan di luar sana, sumber daya alam yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya demi masyarakat Indonesia menjadi tidak terurus bangsa sendiri, malah bangsa asing yang menikmatinya. Sampai kapan mereka bisa menyadari, kita-kita ini, bahwa sebenarnya pola yang sama di Maluku sedang terjadi?
Aku ingin tahu pendapatmu, Lita. Tidak tahu lagi aku harus mengingatkan mereka seperti apa.  
Karena aku benar-benar sendiri dalam hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar