Surat ini kutulis
bersama sebuah mimpi yang ingin kuceritakan kepadamu. Bunga tidur yang biasanya
tidak lagi diingat setelah beberapa saat kita terbangun itu, nyatanya tidak
serta merta sebatas bunga tidur. Ada kalanya, sesuatu tampak, seakan ada yang
hendak disampaikan.
Dan itu, yang membuatku
masih ingat samar-samar gambarannya.
Sayangnya, aku tidak
bisa mengingat awal mimpiku itu, hanya tengahnya saja, ketika aku bertemu dua
orang nenek. Nenek siapa atau dari mana, aku tak punya jawaban. Hanya saja aku
mendadak terharu melihatnya. Bisa dikatakan aku menangis di antara pangkuan
keduanya yang duduk bersimpuh. Seperti seorang anak yang meminta maaf kepadanya
ibunya sendiri dan lama tak jumpa, air mata yang keluar seakan tak terbendung.
Memalukan, bisa kamu bilang aku begitu. Seorang sepertiku menangis di dalam
mimpi. Mimpi yang begitu kabur, namun terasa nyata. Bahkan ketika aku
terbangun.
Ada satu kata yang
masuk keluar kepalaku begitu melihat mereka. Mungkin kata ini yang
menyebabkanku terharu. Itu seingatku. Kesederhanaan. Sederhana. Ya, sesederhana
aku menangis di depan mereka tanpa ada masalah yang melatarbelakangi aku melakukannya.
Namun, apakah mesti ada masalah untuk bisa mengeluarkan air mata?
Tentang kesederhanaan,
aku rasa kata itu ada hubungannya dengan apa yang baru saja kubaca malam
sebelumnya. Dari sebuah novel karangan Arswendo Atmowiloto berjudul Projo dan Brojo. Secara singkat, bisa
kuceritakan novel ini bercerita mengenai seorang bernama Brojo yang dibayar
oleh seseorang untuk menggantikan orang lain yang begitu mirip penampilannnya
dengan dia, bernama Projo, di dalam penjara.
Sederhana namun tidak
sesederhana yang terlihat.
Mengapa mereka bisa
bertukar peran, hanya untuk menyelidiki kebenaran dari prasangka Projo kepada
masalah yang menimpa diri dan istrinya, yang membuat bisnisnya hancur dan
keluarganya terancam berantakan. Intinya memang tentang kepercayaan dan intrik
kekuasaan. Mungkin kamu bingung, hmm, begini, Projo yang sudah bebas di luar
penjara, melakukan penyamaran menjadi orang lain untuk menyelidiki kebenaran
dari prasangka kepada istrinya, Iil, yang diduga selingkuh dengan teman
bisnisnya, Pak Syam.
Di antara kedua inti
itu, ada inti lain yang ikut nyembul. Kesederhanaan, yang dibawa oleh tokoh
Wisuni, istri Brojo. Wisuni memberi sudut pandang lain perihal masalah Projo,
seperti mengapa dugaan itu muncul, bahwa istrinya selingkuh, tentu tidak ada akibat
kalau tidak ada sebab. Projo sendiri punya selingkuhan, bernama Evi. Kamu pasti
tahu, perempuan tidak akan berselingkuh kalau bukan karena dendam ya karena
kesalahan pasangannya sendiri. Dan dugaan awal, dendam, bisa saja. Jadi sudah
adil sebenarnya andai Iil benar-benar selingkuh. Projo tidak melihat kepada
dirinya sendiri.
Lalu celetukan-celetukannya
yang kadang membuat Projo kebingungan, namun justru ada benarnya juga. Kamu
nanti tahu apa yang kumaksud setelah baca bukunya.
Ya, secara keseluruhan
kepercayaan memang kadangkala begitu menganggu pikiran. Sama sepertiku yang
sesekali rasa percaya kepadamu luntur. Komunikasi, sebenarnya kunci dari
semuanya. Dan dihubungkan dengan kesederhanaan tadi, aku rasa memang sangat
sederhana sekali kalau komunikasi itu terus dilakukan dalam menyikapi
masalah-masalah yang ada. Seperti yang aku lakukan selama ini, begitu ada
hal-hal yang mengganggu pikiranku, aku ceritakan kepadamu, apapun itu, meski
kadang tampak sepele dan tidak berguna, tapi aku melakukan itu untuk menjaga
komunikasi yang begitu sederhana dilakukan.
Tentang mimpi tadi, aku
jadi bisa simpulkan sendiri, mengapa aku menangis di depan dua orang nenek itu.
Aku terharu, selalu, melihat kesederhanaan pada diri mereka. Itu, sesederhana
itu simpulanku.
Apa kamu punya cerita
serupa, Lita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar