Minggu, 30 November 2014

Arswendo Atmowiloto, Projo dan Brojo, dan Bagaimana Kamu Memaknai Kesederhanaan


Surat ini kutulis bersama sebuah mimpi yang ingin kuceritakan kepadamu. Bunga tidur yang biasanya tidak lagi diingat setelah beberapa saat kita terbangun itu, nyatanya tidak serta merta sebatas bunga tidur. Ada kalanya, sesuatu tampak, seakan ada yang hendak disampaikan.
Dan itu, yang membuatku masih ingat samar-samar gambarannya.
Sayangnya, aku tidak bisa mengingat awal mimpiku itu, hanya tengahnya saja, ketika aku bertemu dua orang nenek. Nenek siapa atau dari mana, aku tak punya jawaban. Hanya saja aku mendadak terharu melihatnya. Bisa dikatakan aku menangis di antara pangkuan keduanya yang duduk bersimpuh. Seperti seorang anak yang meminta maaf kepadanya ibunya sendiri dan lama tak jumpa, air mata yang keluar seakan tak terbendung. Memalukan, bisa kamu bilang aku begitu. Seorang sepertiku menangis di dalam mimpi. Mimpi yang begitu kabur, namun terasa nyata. Bahkan ketika aku terbangun.
Ada satu kata yang masuk keluar kepalaku begitu melihat mereka. Mungkin kata ini yang menyebabkanku terharu. Itu seingatku. Kesederhanaan. Sederhana. Ya, sesederhana aku menangis di depan mereka tanpa ada masalah yang melatarbelakangi aku melakukannya. Namun, apakah mesti ada masalah untuk bisa mengeluarkan air mata?
Tentang kesederhanaan, aku rasa kata itu ada hubungannya dengan apa yang baru saja kubaca malam sebelumnya. Dari sebuah novel karangan Arswendo Atmowiloto berjudul Projo dan Brojo. Secara singkat, bisa kuceritakan novel ini bercerita mengenai seorang bernama Brojo yang dibayar oleh seseorang untuk menggantikan orang lain yang begitu mirip penampilannnya dengan dia, bernama Projo, di dalam penjara.
Sederhana namun tidak sesederhana yang terlihat.
Mengapa mereka bisa bertukar peran, hanya untuk menyelidiki kebenaran dari prasangka Projo kepada masalah yang menimpa diri dan istrinya, yang membuat bisnisnya hancur dan keluarganya terancam berantakan. Intinya memang tentang kepercayaan dan intrik kekuasaan. Mungkin kamu bingung, hmm, begini, Projo yang sudah bebas di luar penjara, melakukan penyamaran menjadi orang lain untuk menyelidiki kebenaran dari prasangka kepada istrinya, Iil, yang diduga selingkuh dengan teman bisnisnya, Pak Syam.
Di antara kedua inti itu, ada inti lain yang ikut nyembul. Kesederhanaan, yang dibawa oleh tokoh Wisuni, istri Brojo. Wisuni memberi sudut pandang lain perihal masalah Projo, seperti mengapa dugaan itu muncul, bahwa istrinya selingkuh, tentu tidak ada akibat kalau tidak ada sebab. Projo sendiri punya selingkuhan, bernama Evi. Kamu pasti tahu, perempuan tidak akan berselingkuh kalau bukan karena dendam ya karena kesalahan pasangannya sendiri. Dan dugaan awal, dendam, bisa saja. Jadi sudah adil sebenarnya andai Iil benar-benar selingkuh. Projo tidak melihat kepada dirinya sendiri.
Lalu celetukan-celetukannya yang kadang membuat Projo kebingungan, namun justru ada benarnya juga. Kamu nanti tahu apa yang kumaksud setelah baca bukunya.
Ya, secara keseluruhan kepercayaan memang kadangkala begitu menganggu pikiran. Sama sepertiku yang sesekali rasa percaya kepadamu luntur. Komunikasi, sebenarnya kunci dari semuanya. Dan dihubungkan dengan kesederhanaan tadi, aku rasa memang sangat sederhana sekali kalau komunikasi itu terus dilakukan dalam menyikapi masalah-masalah yang ada. Seperti yang aku lakukan selama ini, begitu ada hal-hal yang mengganggu pikiranku, aku ceritakan kepadamu, apapun itu, meski kadang tampak sepele dan tidak berguna, tapi aku melakukan itu untuk menjaga komunikasi yang begitu sederhana dilakukan.
Tentang mimpi tadi, aku jadi bisa simpulkan sendiri, mengapa aku menangis di depan dua orang nenek itu. Aku terharu, selalu, melihat kesederhanaan pada diri mereka. Itu, sesederhana itu simpulanku.

Apa kamu punya cerita serupa, Lita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar