Senin, 17 November 2014

Ayu Utami dan Sebuah Cerita tentang Penampakan dan Spiritualisme Kritis


Aku ingin menceritakan sebuah cerita kepadamu.
Aku percaya bahwa kita hidup tidak sendiri, dalam artian ada makhluk lain di luar sana, di luar tubuh kita, di luar dunia yang hidup berdampingan dengan kita, sambil sesekali sekadar memunculkan diri, sebagai bentuk eksistensinya. Seperti apa yang diceritakan temanku dulu, ketika kami sedang mengikuti salah satu kegiatan bersama teman-teman mahasiswa baru di sebuah daerah dekat Sumedang, Cimalaka kalau tidak salah. Cerita yang pada awalnya aku tidak percaya, sungguh, namun, kalau tidak hanya satu orang saja yang bercerita mengalami hal yang sama, apakah masih bisa disebut sebatas cerita saja?
Malam waktu itu, ketika agenda acara bersiap jalan-jalan keliling daerah tersebut, semacam jurit malam, untuk bertemu teman-teman senior. Namun, hal yang tak terduga datang silih berganti, dengan selang waktu yang berdekatan. Dimulai dari seorang teman mahasiswa baru yang kesurupan.
Awalnya tentu aku berpikir skeptis, ketika seorang teman mulai kesurupan. Dari kacamataku saat itu, dia bisa saja mengalami histeria, semacam kondisi psikologi di mana dia mengalami gejala luapan emosi yang sering tidak terkendali seperti tiba-tiba berteriak-teriak, menangis, tertawa, mati rasa, atau lumpuh. Ditambah kondisi tekanan takut atau khawatir sama senior, keadaan lingkungan yang dingin oleh angin malam dan letak daerah yang cukup tinggi di kaki bukit, siapa saja bisa mengalami hal serupa.
Namun, tidak lama pikiran skeptisku luruh. Beberapa teman mengaku melihat penampakan. Penampakan yang serupa. Beberapa teman yang lain mendengar suara harimau di tempat yang jauh dari kejadian. Bahkan beberapa teman juga melihat penampakan kuntilanak ketika mengantar salah seorang yang sakit ke klinik terdekat setelah lama berselang dari kejadian pertama.
Beberapa hal jika terjadi bersama-sama akan menciptakan makna baru.
Lantas, bagaimana aku menyikapinya?
Aku ingat sebuah buku yang ditulis oleh Ayu Utami berkenaan dengan Doa dan Arwah, berjudul Simple Miracles. Buku ini merupakan bagian dari seri spiritualisme kritisnya. Spiritualisme kritis sendiri, menurut Ayu, adalah satu sikap bagaimana kita menyikapi hal-hal yang berbau spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis.
Di buku itu, Ayu bercerita mengenai pengalamannya sendiri dalam hal spiritual, ketika dia kecil dan begitu percaya dengan cerita-cerita hantu yang diceritakan bibi dan saudaranya, lalu ketika dia tidak percaya lagi dengan agama ketika umur 20an, sampai dia kembali lagi kepada agama di umurnya yang sudah 40-an. Salah satu yang dibahas, tentu saja menyikapi hal-hal berbau spiritual yang dialaminya tersebut, seperti ketika melihat benda-benda yang menyala sendiri pascameninggalnya ayah ibunya, keponakannnya yang mengaku mampu melihat arwah, bahkan sampai kejadian kecil seperti doa yang dikabulkan.
Ketika kesurupan di Cimalaka, ada beberapa mekanisme yang kulakukan sesuai apa yang ditulis di buku Ayu tersebut untuk tidak lantas mempercayai.
Pertama, apa reputasi si penyampai informasi, dalam hal ini temanku yang mengaku melihat hantu, bisa dipercaya? Dalam artian ketika dalam keseharian menyampaikan informasi kepada kita apakah disertai dusta atau penipuan? Aku percaya pada temanku yang mengaku melihat hantu tersebut, terutama pada kejadian pertama, sebab dalam keseharian dia, apa yang diomongkannya, informasi yang diberikannya, selalu sesuai dengan kenyataan. Pada bagian pertama ini, temanku melewati syarat mekanisme pertama.
Kedua, adakah konsistensi logis atau kecocokan informasi gaib itu dengan data atau fakta lain? Ada temanku yang lain yang melihat hal serupa, di tempat dan waktu yang berbeda pula. Temanku yang pertama melihat sebelum kesurupan terjadi, sedang temanku yang kedua ini melihat setelah kesurupan terjadi. Keduanya juga tidak dalam kondisi bersama-sama saat itu. Jadi, tidak ada kesempatan bagi mereka seperti mengarang cerita bersama-sama dan membuat kehebohan, selain itu bukan sifat mereka juga. Pada bagian kedua ini, kedua temanku melewati syarat mekanisme kedua.
Ketiga, adakah pihak yang menangguk keuntungan dari suatu informasi gaib? Keuntungan bisa berupa materi atau non-materi seperti pengakuan. Dalam hal ini, kedua temanku sama sekali bukan tipe orang yang seperti itu, yang dengan sengaja membuat kehebohan atau cerita karangan untuk diakui bahwa mereka bisa melihat hantu. Seperti sudah kubilang sebelumnya, bukan sifat mereka seperti itu.
Sampai pada tahap terakhir, aku akhirnya mengakui bahwa memang ada makhluk lain yang tidak semua orang diberi kesempatan untuk melihatnya. Mereka hidup di lain dunia yang takbisa dibuktikan secara material dan obyektif. Sampai pagi datang, agenda dihentikan, diganti dengan rute yang lebih dekat dan penerangan obor diperbanyak, dengan diawali doa bersama. Sebab, untuk menggapai sesuatu di luar material, seperti Tuhan dan hantu, doa dapat digunakan sebagai salah satu bentuk komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi rohani.
Selain itu, seperti ditulis Ayu, kalau kita tidak menyaksikan apapun, barangkali itu karena keterbatasan dan kebebalan kita sendiri. Kesurupan di Cimalaka, dan kejadian-kejadian lain dalam waktu berdekatan tersebut, menguatkan apa yang Ayu tuliskan. Tapi, bisa melihat apa yang orang lain kebanyakan tidak bisa melihat, apakah sebuah anugrah atau kutukan? Mungkin temanku bertanya-tanya kepada dirinya seperti itu.
Lantas, bagaimana denganmu, apa ada cerita yang menguji nalar kritismu berkenaan dengan hal spiritual di sana, Lita?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar