Aku ingin menceritakan
sebuah cerita kepadamu.
Aku percaya bahwa kita
hidup tidak sendiri, dalam artian ada makhluk lain di luar sana, di luar tubuh
kita, di luar dunia yang hidup berdampingan dengan kita, sambil sesekali
sekadar memunculkan diri, sebagai bentuk eksistensinya. Seperti apa yang
diceritakan temanku dulu, ketika kami sedang mengikuti salah satu kegiatan
bersama teman-teman mahasiswa baru di sebuah daerah dekat Sumedang, Cimalaka
kalau tidak salah. Cerita yang pada awalnya aku tidak percaya, sungguh, namun,
kalau tidak hanya satu orang saja yang bercerita mengalami hal yang sama, apakah
masih bisa disebut sebatas cerita saja?
Malam waktu itu, ketika
agenda acara bersiap jalan-jalan keliling daerah tersebut, semacam jurit malam,
untuk bertemu teman-teman senior. Namun, hal yang tak terduga datang silih
berganti, dengan selang waktu yang berdekatan. Dimulai dari seorang teman
mahasiswa baru yang kesurupan.
Awalnya tentu aku
berpikir skeptis, ketika seorang teman mulai kesurupan. Dari kacamataku saat
itu, dia bisa saja mengalami histeria, semacam kondisi psikologi di mana dia
mengalami gejala luapan emosi yang sering tidak terkendali seperti tiba-tiba
berteriak-teriak, menangis, tertawa, mati rasa, atau lumpuh. Ditambah kondisi tekanan
takut atau khawatir sama senior, keadaan lingkungan yang dingin oleh angin
malam dan letak daerah yang cukup tinggi di kaki bukit, siapa saja bisa
mengalami hal serupa.
Namun, tidak lama
pikiran skeptisku luruh. Beberapa teman mengaku melihat penampakan. Penampakan
yang serupa. Beberapa teman yang lain mendengar suara harimau di tempat yang
jauh dari kejadian. Bahkan beberapa teman juga melihat penampakan kuntilanak
ketika mengantar salah seorang yang sakit ke klinik terdekat setelah lama
berselang dari kejadian pertama.
Beberapa hal jika
terjadi bersama-sama akan menciptakan makna baru.
Lantas, bagaimana aku
menyikapinya?
Aku ingat sebuah buku
yang ditulis oleh Ayu Utami berkenaan dengan Doa dan Arwah, berjudul Simple Miracles. Buku ini merupakan
bagian dari seri spiritualisme kritisnya. Spiritualisme kritis sendiri, menurut
Ayu, adalah satu sikap bagaimana kita menyikapi hal-hal yang berbau spiritual
tanpa mengkhianati nalar kritis.
Di buku itu, Ayu
bercerita mengenai pengalamannya sendiri dalam hal spiritual, ketika dia kecil
dan begitu percaya dengan cerita-cerita hantu yang diceritakan bibi dan
saudaranya, lalu ketika dia tidak percaya lagi dengan agama ketika umur 20an,
sampai dia kembali lagi kepada agama di umurnya yang sudah 40-an. Salah satu
yang dibahas, tentu saja menyikapi hal-hal berbau spiritual yang dialaminya
tersebut, seperti ketika melihat benda-benda yang menyala sendiri
pascameninggalnya ayah ibunya, keponakannnya yang mengaku mampu melihat arwah,
bahkan sampai kejadian kecil seperti doa yang dikabulkan.
Ketika kesurupan di
Cimalaka, ada beberapa mekanisme yang kulakukan sesuai apa yang ditulis di buku
Ayu tersebut untuk tidak lantas mempercayai.
Pertama, apa reputasi
si penyampai informasi, dalam hal ini temanku yang mengaku melihat hantu, bisa
dipercaya? Dalam artian ketika dalam keseharian menyampaikan informasi kepada
kita apakah disertai dusta atau penipuan? Aku percaya pada temanku yang mengaku
melihat hantu tersebut, terutama pada kejadian pertama, sebab dalam keseharian
dia, apa yang diomongkannya, informasi yang diberikannya, selalu sesuai dengan
kenyataan. Pada bagian pertama ini, temanku melewati syarat mekanisme pertama.
Kedua, adakah
konsistensi logis atau kecocokan informasi gaib itu dengan data atau fakta
lain? Ada temanku yang lain yang melihat hal serupa, di tempat dan waktu yang
berbeda pula. Temanku yang pertama melihat sebelum kesurupan terjadi, sedang
temanku yang kedua ini melihat setelah kesurupan terjadi. Keduanya juga tidak
dalam kondisi bersama-sama saat itu. Jadi, tidak ada kesempatan bagi mereka
seperti mengarang cerita bersama-sama dan membuat kehebohan, selain itu bukan
sifat mereka juga. Pada bagian kedua ini, kedua temanku melewati syarat
mekanisme kedua.
Ketiga, adakah pihak
yang menangguk keuntungan dari suatu informasi gaib? Keuntungan bisa berupa
materi atau non-materi seperti pengakuan. Dalam hal ini, kedua temanku sama
sekali bukan tipe orang yang seperti itu, yang dengan sengaja membuat kehebohan
atau cerita karangan untuk diakui bahwa mereka bisa melihat hantu. Seperti
sudah kubilang sebelumnya, bukan sifat mereka seperti itu.
Sampai pada tahap
terakhir, aku akhirnya mengakui bahwa memang ada makhluk lain yang tidak semua
orang diberi kesempatan untuk melihatnya. Mereka hidup di lain dunia yang
takbisa dibuktikan secara material dan obyektif. Sampai pagi datang, agenda
dihentikan, diganti dengan rute yang lebih dekat dan penerangan obor
diperbanyak, dengan diawali doa bersama. Sebab, untuk menggapai sesuatu di luar
material, seperti Tuhan dan hantu, doa dapat digunakan sebagai salah satu
bentuk komunikasi. Dalam hal ini, komunikasi rohani.
Selain itu, seperti ditulis
Ayu, kalau kita tidak menyaksikan apapun, barangkali itu karena keterbatasan
dan kebebalan kita sendiri. Kesurupan di Cimalaka, dan kejadian-kejadian lain
dalam waktu berdekatan tersebut, menguatkan apa yang Ayu tuliskan. Tapi, bisa
melihat apa yang orang lain kebanyakan tidak bisa melihat, apakah sebuah
anugrah atau kutukan? Mungkin temanku bertanya-tanya kepada dirinya seperti
itu.
Lantas, bagaimana
denganmu, apa ada cerita yang menguji nalar kritismu berkenaan dengan hal
spiritual di sana, Lita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar