Esok hari, lelaki itu
sudah harus menyelesaikan tulisannya dan membacakannya di sudut pasar
sebagaimana yang selalu ia lakukan tiap hari. Dia akan bercerita tentang dunia
dongeng, putri-putri yang cantik jelita, monster-monster pemakan manusia selama
berjam-jam, dan orang-orang akan berhenti sejenak mendengarkannya, kemudian
pergi setelah melempar koin-koin ke dalam kaleng kosong di hadapannya. Dari
sana, keping-keping uang dikumpulkan lelaki itu untuk bertahan hidup. Hanya saja,
walaupun malam telah menggantung tinggi, dia masih menatap lembaran kertas kosong
di hadapannya. Matanya berganti menatap antara kertas tersebut dan langit yang
sewarna dengan pikirannya, gelap.
Penjaga malam yang lewat
di bawah kamar kosnya membunyikan tiang listrik dengan batu yang dipukul
beberapa kali. Malam semakin larut. Lelaki itu terbangun, menatap lagi lembaran
kertas kosongnya. Setelah bangun dan berjalan mondar-mandir berharap ada
sekelebat ide datang kepadanya, dia menyerah. Malam itu dia memutuskan berhenti
menulis. Cerita-cerita tentang dunia dongeng, putri-putri yang cantik jelita, monster-monster
pemakan manusia tidak akan pernah lagi datang kepadanya. Dia sudah habis.
Sesaat ketika dia
hendak membereskan peralatan tulisnya di meja, seekor kucing hitam berdiri
tepat di depan jendela kamarnya. Diam memandang lelaki itu.
“Pergilah kau kucing
hitam, aku tidak punya makanan untukmu.”
“Aku memang tidak mau
makanan darimu, tapi aku berniat memberimu cara untuk mendapatkan makanan,”
kata kucing hitam tersebut sambil melompat masuk dan duduk di atas meja.
“Bagaimana caranya, aku
sudah habis, ideku sudah berhenti mengalir.”
“Ikut aku.”
Lelaki itu pergi
mengikuti kucing hitam tersebut menyusuri pinggiran kota. Tidak ada siapa pun terlihat
melintas di kota pada sepertiga malam seperti saat itu. Sampai mereka tiba di
depan sebuah rumah tidak jauh dari rumah Pak Walikota.
“Lihatlah dari atas
pohon sepertiku,” bisik kucing tersebut. Lelaki itu mengikutinya.
Di pinggir jendela sebuah
kamar kecil di loteng rumah tersebut, dia dapat melihat seorang anak kecil yang
bersandar pada jendela kamarnya. Diam menekur menatap langit, pada saat itu dia
tidak menyadari kehadiran kucing hitam dan lelaki tersebut, dan sesekali
terdengar lirih apa yang dikatakannya kepada bulan dan bintang.
“Turunkan aku sepotong
roti untuk kumakan, maka aku berjanji tidak akan lagi memohon kepadamu kecuali
dengan usahaku sendiri. Untuk itu aku perlu makan, bulan, agar aku tidak lagi
memohon kepadamu, begitu pun denganmu bintang.” Diulanginya berkali-kali sampai
dia tidak kuat lagi dan tertidur.
“Kalau kau bertanya di
mana orang tuanya, aku tidak akan menjawabnya. Toh apa bedanya, dia hidup sendiri
dan setahuku dia bekerja di rumah tersebut.”
“Menyedihkan sekali.”
“Itu yang kumaksud dengan
membawamu kemari, kau bisa menjadikannya sebuah bahan untuk tulisan ceritamu.”
Sejenak lelaki tersebut
berpikir. Lantas menggelengkan kepala.
“Tidak kucing hitam. Cerita
itu sama sekali tidak menjual. Orang-orang tidak akan menyukainya dan tidak
akan ada yang memberikan uang logamnya. Biasanya mereka memberikannya dengan
senyum di wajahnya setelah mendengar ceritaku tentang negeri dongeng,
putri-putri yang cantik jelita, dan monster pemakan manusia. Indah sekali kata
mereka, kau membuatku senang hari ini, yang lain menimpali, aku ingin sekali
rasanya hidup di dalam negeri seperti ceritamu, dan kepingan logam meluncur
dari tangan mereka.”
“Bayangkan, aku tidak
akan bisa meraih kepingan logam mereka dengan cerita yang menyedihkan seperti
anak kecil itu.”
“Kau sudah kutunjukkan
caranya untuk mendapatkan makanan, dan itu balasanmu kepadaku? Dasar tidak tahu
diri.”
“Bukan begitu maksudku,
kucing hitam.”
“Seharusnya kubiarkan
saja kau mati kelaparan, karena kau tidak lagi bisa mengarang cerita. Karena
aku tahu, kau tidak memiliki kemampuan apapun selain itu. Makanya kuajak kau
kemari.”
“Kau merendahkanku.”
“Memang seperti itu
bukan?”
Lelaki itu mulai kesal.
“Baiklah, akan kuturuti kata-katamu kucing,” dan dia turun dari pohon tersebut.
“Hanya karena aku tidak
mau disebut tidak tahu diri,” kata lelaki itu sembari pergi kembali ke
kamarnya.
Keesokan malamnya,
kucing hitam itu datang lagi ke depan jendela kamar lelaki tersebut.
“Bagaimana, kau
sepertinya masih bisa makan hari ini.”
Lelaki itu sedikit
kesal dengan kebenaran kata-kata kucing hitam. “Memang benar, mereka ternyata
masih mau memberikan kepingan uang logam mereka. Hanya saja kali ini berbeda,
mereka terlihat sedih dan beberapa perempuan meneteskan air matanya. Ceritamu
kali ini tidak kalah indah seperti biasanya, walaupun temanya berbeda, ini aku
lebihkan untukmu, yang lain menimpali, aku ingin tahu di mana bisa kutemukan
anak kecil itu di kota ini, dan aku pun menjawabnya dengan jujur. Sebelum pergi
dia meninggalkan roti untukku, katanya berikan untuknya.”
“Dan kau
memberikannya?”
“Tidak, aku makan, aku
juga perlu makan.”
“Sekarang bagaimana,
dengan perut terisi seharusnya ide pun datang kepadamu, bukan?”
“Tidak, rasanya
sia-sia, sampai larut malam kertas yang sekarang kau duduki itu masih saja
kosong. Aku sudah habis kali ini.”
“Ikut aku,” seru kucing
hitam.
Mereka berjalan berdampingan.
“Apa kau merasakannya
kucing? Udara malam ini terasa hangat.”
“Aku selalu merasa
hangat.”
“Baru kali pertama aku
merasakan kehangatan seperti ini.”
“Mungkin karena roti yang
diberikan seseorang kepadamu.”
“Bisa jadi begitu.”
Akhirnya mereka tiba di
sudut sebuah jalan yang sepi, tidak jauh dari pasar dan alun-alun kota. Seorang
pria tua tunawisma meringkuk di dalam selimutnya yang terbuat dari karung bekas
gandum, di depan sebuah toko yang tutup.
“Aku sering melihatnya,
dia sering meminta-minta di pasar.”
“Itu yang kumaksud
dengan membawamu kemari, kau bisa menjadikannya minimal sebuah roti dan air
untuk mengganjal perutmu esok hari.”
Beberapa lama mereka
diam saja. Masing-masing dengan pikirannya. Sampai lelaki tersebut pergi
kembali ke kamarnya dan kucing hitam pergi entah ke mana. Keesokan malamnya
lagi kucing hitam datang kembali ke kamar lelaki tersebut.
“Bagaimana, kau sepertinya
makan banyak hari ini.”
“Memang begitu, kucing
hitam, mereka memberiku banyak kepingan logam sampai aku bisa membeli beberapa
roti untuk kusimpan. Mereka juga lebih sedih wajahnya, tidak sedikit yang
meneteskan air matanya sampai terisak. Aku pun baru kali pertama melihat ada
orang yang bersikap begitu setelah mendengar ceritaku.”
“Dan kau tahu kucing
hitam, pria tua itu sekarang tidak lagi kekurangan makan, kukira, karena
beberapa orang menanyakan kepadaku di mana aku bisa menemukan pria tua seperti
di dalam ceritaku, dan aku menjawabnya dengan jujur. Kalau begitu, kata seorang
ibu, aku berikan saja kelebihan roti ini kepadanya.”
“Kabar yang bagus,”
kata si kucing hitam.
“Kau mau makan?”
“Tidak, buat kau saja,”
kucing hitam itu melompat masuk ke dalam kamar dan berbaring di atas kasur.
“Sepertinya kau tidak
ada perubahan dalam hal memancing ide supaya keluar sendiri, kertasmu masih
kosong.”
“Kau mau mengajakku
pergi lagi?”
“Ikut aku.”
“Kali ini ke mana?
“Ke mana saja, selama
ada orang-orang yang bisa kau jadikan cerita di kota ini.”
Suatu malam Tuhan merasa
bosan dengan urusan di dunia dan hendak mencari hiburan. Malaikat lalu
memberitahuNya tentang seorang lelaki yang pandai membuat cerita. Maka
dikirimkannya malaikat untuk meminta lelaki tersebut membuatkan sebuah cerita
yang indah tentang negeri dongeng di mana putri raja yang cantik jelita ditawan
seekor monster pemakan manusia.
“Tunggu sebentar,”
jawabnya, tidak lama cerita tersebut jadi.
“Bukan, bukan cerita yang
seperti ini, ini bukan cerita yang indah, ini cerita yang sebaliknya. Tuhan
tidak menginginkannya.”
“Aku harus bagaimana
lagi, aku sudah tidak bisa membuat cerita seperti itu.”
Malaikat tersebut
kecewa. Lalu pergi.
“Aku akan cari tukang
cerita yang lain saja.”
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar