Rabu, 07 September 2016

[Cerpen] Seorang Lelaki dan Kucing Hitam

 

Esok hari, lelaki itu sudah harus menyelesaikan tulisannya dan membacakannya di sudut pasar sebagaimana yang selalu ia lakukan tiap hari. Dia akan bercerita tentang dunia dongeng, putri-putri yang cantik jelita, monster-monster pemakan manusia selama berjam-jam, dan orang-orang akan berhenti sejenak mendengarkannya, kemudian pergi setelah melempar koin-koin ke dalam kaleng kosong di hadapannya. Dari sana, keping-keping uang dikumpulkan lelaki itu untuk bertahan hidup. Hanya saja, walaupun malam telah menggantung tinggi, dia masih menatap lembaran kertas kosong di hadapannya. Matanya berganti menatap antara kertas tersebut dan langit yang sewarna dengan pikirannya, gelap.

Penjaga malam yang lewat di bawah kamar kosnya membunyikan tiang listrik dengan batu yang dipukul beberapa kali. Malam semakin larut. Lelaki itu terbangun, menatap lagi lembaran kertas kosongnya. Setelah bangun dan berjalan mondar-mandir berharap ada sekelebat ide datang kepadanya, dia menyerah. Malam itu dia memutuskan berhenti menulis. Cerita-cerita tentang dunia dongeng, putri-putri yang cantik jelita, monster-monster pemakan manusia tidak akan pernah lagi datang kepadanya. Dia sudah habis.

Sesaat ketika dia hendak membereskan peralatan tulisnya di meja, seekor kucing hitam berdiri tepat di depan jendela kamarnya. Diam memandang lelaki itu.

“Pergilah kau kucing hitam, aku tidak punya makanan untukmu.”

“Aku memang tidak mau makanan darimu, tapi aku berniat memberimu cara untuk mendapatkan makanan,” kata kucing hitam tersebut sambil melompat masuk dan duduk di atas meja.

“Bagaimana caranya, aku sudah habis, ideku sudah berhenti mengalir.”

“Ikut aku.”

Lelaki itu pergi mengikuti kucing hitam tersebut menyusuri pinggiran kota. Tidak ada siapa pun terlihat melintas di kota pada sepertiga malam seperti saat itu. Sampai mereka tiba di depan sebuah rumah tidak jauh dari rumah Pak Walikota.

“Lihatlah dari atas pohon sepertiku,” bisik kucing tersebut. Lelaki itu mengikutinya.

Di pinggir jendela sebuah kamar kecil di loteng rumah tersebut, dia dapat melihat seorang anak kecil yang bersandar pada jendela kamarnya. Diam menekur menatap langit, pada saat itu dia tidak menyadari kehadiran kucing hitam dan lelaki tersebut, dan sesekali terdengar lirih apa yang dikatakannya kepada bulan dan bintang.

“Turunkan aku sepotong roti untuk kumakan, maka aku berjanji tidak akan lagi memohon kepadamu kecuali dengan usahaku sendiri. Untuk itu aku perlu makan, bulan, agar aku tidak lagi memohon kepadamu, begitu pun denganmu bintang.” Diulanginya berkali-kali sampai dia tidak kuat lagi dan tertidur.

“Kalau kau bertanya di mana orang tuanya, aku tidak akan menjawabnya. Toh apa bedanya, dia hidup sendiri dan setahuku dia bekerja di rumah tersebut.”

“Menyedihkan sekali.”

“Itu yang kumaksud dengan membawamu kemari, kau bisa menjadikannya sebuah bahan untuk tulisan ceritamu.”

Sejenak lelaki tersebut berpikir. Lantas menggelengkan kepala.

“Tidak kucing hitam. Cerita itu sama sekali tidak menjual. Orang-orang tidak akan menyukainya dan tidak akan ada yang memberikan uang logamnya. Biasanya mereka memberikannya dengan senyum di wajahnya setelah mendengar ceritaku tentang negeri dongeng, putri-putri yang cantik jelita, dan monster pemakan manusia. Indah sekali kata mereka, kau membuatku senang hari ini, yang lain menimpali, aku ingin sekali rasanya hidup di dalam negeri seperti ceritamu, dan kepingan logam meluncur dari tangan mereka.”

“Bayangkan, aku tidak akan bisa meraih kepingan logam mereka dengan cerita yang menyedihkan seperti anak kecil itu.”

“Kau sudah kutunjukkan caranya untuk mendapatkan makanan, dan itu balasanmu kepadaku? Dasar tidak tahu diri.”

“Bukan begitu maksudku, kucing hitam.”

“Seharusnya kubiarkan saja kau mati kelaparan, karena kau tidak lagi bisa mengarang cerita. Karena aku tahu, kau tidak memiliki kemampuan apapun selain itu. Makanya kuajak kau kemari.”

“Kau merendahkanku.”

“Memang seperti itu bukan?”

Lelaki itu mulai kesal. “Baiklah, akan kuturuti kata-katamu kucing,” dan dia turun dari pohon tersebut.

“Hanya karena aku tidak mau disebut tidak tahu diri,” kata lelaki itu sembari pergi kembali ke kamarnya.

Keesokan malamnya, kucing hitam itu datang lagi ke depan jendela kamar lelaki tersebut.

“Bagaimana, kau sepertinya masih bisa makan hari ini.”

Lelaki itu sedikit kesal dengan kebenaran kata-kata kucing hitam. “Memang benar, mereka ternyata masih mau memberikan kepingan uang logam mereka. Hanya saja kali ini berbeda, mereka terlihat sedih dan beberapa perempuan meneteskan air matanya. Ceritamu kali ini tidak kalah indah seperti biasanya, walaupun temanya berbeda, ini aku lebihkan untukmu, yang lain menimpali, aku ingin tahu di mana bisa kutemukan anak kecil itu di kota ini, dan aku pun menjawabnya dengan jujur. Sebelum pergi dia meninggalkan roti untukku, katanya berikan untuknya.”

“Dan kau memberikannya?”

“Tidak, aku makan, aku juga perlu makan.”

“Sekarang bagaimana, dengan perut terisi seharusnya ide pun datang kepadamu, bukan?”

“Tidak, rasanya sia-sia, sampai larut malam kertas yang sekarang kau duduki itu masih saja kosong. Aku sudah habis kali ini.”

“Ikut aku,” seru kucing hitam.

Mereka berjalan berdampingan.

“Apa kau merasakannya kucing? Udara malam ini terasa hangat.”

“Aku selalu merasa hangat.”

“Baru kali pertama aku merasakan kehangatan seperti ini.”

“Mungkin karena roti yang diberikan seseorang kepadamu.”

“Bisa jadi begitu.”

Akhirnya mereka tiba di sudut sebuah jalan yang sepi, tidak jauh dari pasar dan alun-alun kota. Seorang pria tua tunawisma meringkuk di dalam selimutnya yang terbuat dari karung bekas gandum, di depan sebuah toko yang tutup.

“Aku sering melihatnya, dia sering meminta-minta di pasar.”

“Itu yang kumaksud dengan membawamu kemari, kau bisa menjadikannya minimal sebuah roti dan air untuk mengganjal perutmu esok hari.”

Beberapa lama mereka diam saja. Masing-masing dengan pikirannya. Sampai lelaki tersebut pergi kembali ke kamarnya dan kucing hitam pergi entah ke mana. Keesokan malamnya lagi kucing hitam datang kembali ke kamar lelaki tersebut.

“Bagaimana, kau sepertinya makan banyak hari ini.”

“Memang begitu, kucing hitam, mereka memberiku banyak kepingan logam sampai aku bisa membeli beberapa roti untuk kusimpan. Mereka juga lebih sedih wajahnya, tidak sedikit yang meneteskan air matanya sampai terisak. Aku pun baru kali pertama melihat ada orang yang bersikap begitu setelah mendengar ceritaku.”

“Dan kau tahu kucing hitam, pria tua itu sekarang tidak lagi kekurangan makan, kukira, karena beberapa orang menanyakan kepadaku di mana aku bisa menemukan pria tua seperti di dalam ceritaku, dan aku menjawabnya dengan jujur. Kalau begitu, kata seorang ibu, aku berikan saja kelebihan roti ini kepadanya.”

“Kabar yang bagus,” kata si kucing hitam.

“Kau mau makan?”

“Tidak, buat kau saja,” kucing hitam itu melompat masuk ke dalam kamar dan berbaring di atas kasur.

“Sepertinya kau tidak ada perubahan dalam hal memancing ide supaya keluar sendiri, kertasmu masih kosong.”

“Kau mau mengajakku pergi lagi?”

“Ikut aku.”

“Kali ini ke mana?

“Ke mana saja, selama ada orang-orang yang bisa kau jadikan cerita di kota ini.”

Suatu malam Tuhan merasa bosan dengan urusan di dunia dan hendak mencari hiburan. Malaikat lalu memberitahuNya tentang seorang lelaki yang pandai membuat cerita. Maka dikirimkannya malaikat untuk meminta lelaki tersebut membuatkan sebuah cerita yang indah tentang negeri dongeng di mana putri raja yang cantik jelita ditawan seekor monster pemakan manusia.

“Tunggu sebentar,” jawabnya, tidak lama cerita tersebut jadi.

“Bukan, bukan cerita yang seperti ini, ini bukan cerita yang indah, ini cerita yang sebaliknya. Tuhan tidak menginginkannya.”

“Aku harus bagaimana lagi, aku sudah tidak bisa membuat cerita seperti itu.”

Malaikat tersebut kecewa. Lalu pergi.

“Aku akan cari tukang cerita yang lain saja.”

****

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar